Tanaman Terong dalam Polybag di Kebun | @kaekaha |
Lahir dan besar di kampung yang ijo royo-royo di sudut pedesaan yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerto raharjo di kaki Gunung Lawu yang sebagian besar masyarakatnya adalah "penghayat" gaya hidup green "frugal" living alamiah, alias penganut gaya hidup ramah lingkungan dalam kesederhanaan, menjadikan saya mempunyai kedekatan kultural dan emosional cukup dalam dengan alam dan lingkungan pedesaan yang asri penuh kesahajaan.
Kalau anda pernah mendengar dan menghayati lirik lagu Pak Tani-nya Koes Plus, seperti itulah kira-kira gambaran kehidupan masyarakat kampung kami di kaki Gunung Lawu di masa kecil saya yang terus menginspirasi!
Seperti sudah gawan bayi alias bawaan dari lahir, gaya hidup green "frugal" living khas orang desa, tetap tidak bisa saya tinggalkan meskipun akhirnya saya menetap di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!, lebih dari 2 dekade silam.
Padahal, tinggal di Kota Banjarmasin ternyata bukan sekedar beda kultur desa dengan kota atau Jawa dengan Kalimantan semata, tapi juga cuaca dan iklim panasnya yang berbanding terbalik dengan kampung halaman saya yang sejuk dan segar khas dataran tinggi.
Bentuk adaptasi pertama saya terhadap panasnya cuaca Kota Banjarmasin yang nylekit di kulit adalah dengan menghijaukan sekitar rumah dengan tanaman mangga dan pohon peneduh yang cepat besar seperti ketapang.
Setelah lumayan besar, kira-kira 3 tahun berikutnya, saya baru bisa mengeksplorasi ide-ide hijau, salah satunya dengan membuat lanskap "hutan dalam pohon" yang kelak tidak hanya menjadi pabrik oksigen saja, tapi juga menjadi tempat penangkaran alami beberapa jenis anggrek dan tanaman paku-pakuan.
Tidak hanya itu, rimbunnya hutan dalam pohon ternyata menarik beberapa jenis burung bahkan tupai dan binatang-binatang liar lain yang saya tidak tahu dari mana asalnya untuk bersarang. Keren kan!? Penasaran kisahnya? Silakan baca artikel berikut,
Hutan dalam Pohon, Ide Sederhana Menambah Pabrik O2 di Lahan Terbatas Perkotaan
Setelah tahu mahalnya sayur-sayuran di Banjarmasin karena datang dari Jawa, padahal ini asupan favorit yang tidak bisa saya tinggalkan setiap kali makan, saya berupaya menanam beragam sayuran dalam polybag atau pot, karena ekosistem rawa meskipun kaya sayuran, tapi hanya memberikan kangkung, kalakai dan genjer saja yang bisa saya makan.
Awalnya, saya menanam sayuran yang mentolerir panasnya Kota Banjarmasin, seperti sawi, selada, bayam, kangkung darat, cabe, tomat, pare, gambas, kacang panjang, terong, labu Siam dan lain-lain, termasuk beberapa empon-empon seperti jahe, kunyit, kencur dan lengkuas.
Gambas atau Oyong di Kebun | @kaekaha |
Begitu juga ketika mengetahui lahan rawa sekitar rumah, airnya masih representatif untuk budidaya ikan, karena masih terkoneksi dengan aliran sungai, maka saya membuat keramba ikan dari jaring nilon apung di samping rumah untuk memelihara ikan patin dan ikan lele.
Sayang, untuk karamba Ulin ikan haruan atau gabus, saya gagal mengelolanya, jadi tidak saya teruskan. Sebagai ganti, sekaligus untuk menambah variasi lauk, saya juga memelihara ayam dan burung dara, sumber protein kesukaan saya.
Kecuali beras yang masih beli, praktis setiap hari kami memaksimalkan hasil kebun di samping rumah kami untuk lauk-pauk dan hanya membeli jika memang kebun mungil kami tidak memproduksinya atau kuantitas panennya kurang.
Tahukan anda manfaat besar yang kami peroleh dari giatnya kami mengelola kebun, kolam dan kandang mini di samping rumah?
Pertama, istri dan anak saya yang lahir besar di Banjar dan asalnya tidak bisa mengkonsumsi sayur, sekarang jadi terbalik, tidak bisa makan kalau tidak ada sayur.
Kedua, mungkin ini agak ekstrim bagi manusia modern! Sejak terbiasa makan-makanan fresh, akhirnya kami merasa tidak perlu kulkas dan "terpaksa" menjualnya daripada mubazir tidak terpakai! Lumayan ditabung untuk naik haji he...he...he...
Ketiga, anak-anak jadi paham proses berkebun berikut segala "keajaiban" di dalamnya, seperti proses dari bunga sampai menjadi buah yang siap di konsumsi, berikut perubahan warna, bentuk dan ukurannya. Siapa yang melakukannya?
Ikan Haruan Karamba Pertama dan Terakhir | @kaekaha |
Uniknya, melihat begitu banyak keajaiban alam di kebun mungil kami, justeru mengantar anak-anak lebih suka makanan olahan mamanya, hingga mereka tidak terbiasa jajan. Kebetulan karena mamanya "bekerja dari rumah", maka setiap hari mamanya selalu membuatkan beragam jajanan sehat untuk mereka.
Keempat, nggak sengaja juga, budaya hidup ramah lingkungan ini mengantarkan kami pada zero waste, setidaknya meminimalisir sampah yang diambil tukang sampah, karena sebagian besar sampah kami memang organik yang kami komposkan.
Kalaupun ada sampah non organik biasanya nggak seberapa banyak dan biasanya akan masuk bank sampah komplek. Enakkan, minim sampah di rumah!? Nggak perlu capek dan nggak perlu bau!
Artinya semua konsepsi dasar zero waste, seperti reduce, reuse, dan recycle, berikut perluasannya seperti retink, replace, reproduce, refuse dan lainnya, secara tidak langsung semuanya sudah kami aktifkan tombolnya. Termasuk tidak menggunakan tas kresek sekali pakai dan menggantinya dengan memanfaatkan bakul purun, tas ramah lingkungan asli dari Kalimantan Selatan.
Bakul Purun Tas Belanja khas Banua Banjar | @kaekaha |
Emang ga capek, ga repot ngurus kebun, kolam dan kandang mini? Kalau belum terbiasa pasti capek dan repot! Tapi justeru aktifitas yang bikin kita gerak dan melihat yang ijo-ijoan inilah rahasia sehat dan bugar saya, sekaligus "candu" pertama gaya hidup green living.
Tidak hanya itu, tanpa sengaja ternyata kami juga telah berhemat anggaran belanja. Entah berapa duit yang kami hemat karena subsidi dari kebun mungil kami!? Inilah salah satu "candu kedua" dari budaya green living.
Selebihnya adalah kebahagiaan yang luar biasa, ketika kami bisa berbagi hasil kebun dengan tetangga dan kolega, sekaligus menularkan budaya green living yang ternyata bisa banget memandu kita untuk hidup lebih sehat, hemat dengan beragam manfaat berkelanjutan.
Inilah multiplyer effect dari literaksi atau kepaduan gerak literasi dan aksi menularkan budaya green living secara tidak sengaja yang sebelumnya tidak pernah kami sangka.
Untuk nutrisi tanaman-tanaman sayur ini saya memakai pupuk kandang dari unggas piaraan saya dan eco enzim yang bersama pestisida alaminya saya buat sendiri dari belajar pada banyak sumber, termasuk komunitas dan juga YouTube.
Pernah juga melakukan percobaan memanfaatkan limbah urine yang mengandung urea cukup tinggi, untuk pupuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga daun tampak lebih hijau dan segar, tapi karena kategorinya najis dan tidak dianjurkan dalam agama, akhirnya tidak saya lanjutkan.
Oh iya, dari kandang ayam dan burung dara, kami tidak hanya mendapatkan telur dan pupuk kandangnya saja. Setidaknya 3-4 kali sebulan kami biasa memanen dagingnya juga, bisa dari ayam maupun burung dara.
Dari keramba ikan, kalau sudah memasuki usia panen, setiap hari kami malah bisa menggilir jenis ikan yang ingin kami panen.
Untuk mendapatkan ikan yang sehat, meskipun air rawa kami masih survive, karena lumayan dalam dan masih terkoneksi dengan aliran sungai, kami tetap menanam beberapa tanaman bioremediasi lahan basah seperti kangkung, genjer, jariangau, melati air, teratai dan juga menambahkan kayapu dan juga ilung atau eceng gondok sebagai tanaman penyerap kemungkinan adanya limbah domestik.
Kami paling suka memasak ikan hasil keramba kami sebagai teman ber-tinutuan alias menyantap bubur Manado khas keluarga istri yang kakek buyutnya asli dari Air Madidi, Minahasa.
Bahan Membuat Tinutuan Banjar |@kaekaha |
Tinutuan kami tentu sudah mengalami penyesuaian dengan lidah Banjar kami, meskipun tetap full sayur hasil kebun, termasuk singkong dan labu kuning. Bedanya ya ikan bakar hasil keramba yang disantap bareng sambal terasi asin pedas.
Kami memang lebih sering memasak makanan dengan cara di pais atau di pepes dengan bungkus daun yang di kukus dan di banam atau di bakar, relatif jarang dengan menyanga atau menggoreng. Jadi Insha Allah lebih sehat dan hemat.
Tradisi makan leluhur di kampung masih kami lestarikan, termasuk tradisi makan secukupnya!
Mengambil makan harus sesuai dengan kemampuan, tidak boleh berlebih dan bersisa, kalau habis baru boleh nambah lagi secukupnya pula dan kalau selesai, piring harus bersih dari sisa nasi.
Membawa budaya dari kampung, kami juga tidak terbiasa memakai tisu, minum air dengan gelas dan kemana-mana membawa wadah minum, baik tumbler maupun termos air panas secukupnya.
Ini yang keren! Adanya ikan peliharaan di kolong dan samping rumah, menuntun kami untuk menggunakan bahan-bahan aktif pencuci baju, cuci piring dan juga mandi yang ramah lingkungan, terutama buah lerak yang banyak dijual di pasar tradisional. Termasuk seminimal mungkin membuang bekas cucian tadi ke kolong rumah.
Sudah sejak lama kami terus berburu produk untuk cuci-cuci yang standar SNI Green Label yang tentunya menjamin produk tersebut telah melewati pengujian dan memenuhi standar keberlanjutan lingkungan.
Oya, "candu" berhemat yang ditawarkan gaya hidup green living, jelas memacu kami untuk terus mencari formula berhemat yang bisa kami eksploitasi lagi, tanpa mengurangi kelayakan hidup. Sampai akhirnya, kami migrasi dari kompor gas ke semua perangkat masak tenaga listrik.
Sebelumnya sempat melirik juga, potensi metana dalam septik tank untuk memasak, tapi kok ya masih belum begitu berani mengeksploitasinya, begitu juga dengan pemanfaatan listrik tenaga Surya, tapi kok ya masih relatif mahal perangkatnya. Mudahan segera bisa diaplikasikan secepatnya!
Naik Sepeda Listrik untuk Kesana-kemari | @kaekaha |
Sedangkan kompor dan tabung gas hanya sebagai back up untuk kemungkinan pemadaman listrik sewaktu-waktu. Begitu juga dengan alat transportasi. Sekarang saya juga memulai memanfaatkan sepeda listrik untuk aktifitas mobile jarak dekat.
Mudah-mudahan nanti ada rejeki untuk mahar kendaraan listrik yang lebih besar lagi. Karena "candu" green living selayaknya kaizen, pasti akan terus memacu saya, kami dan kita semua untuk terus bergerak menuju hidup dan kehidupan yang lebih baik, lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk masa depan yang lebih baik.
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar