Banjarmasin Sister City Jakarta
Antara Kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan
dan Kota Jakarta di ujung barat Pulau Jawa terbentang jarak lebih dari
900 km, tapi tahukah anda jika diantara keduanya mempunyai kemiripan
bahkan keidentikan yang menjadikan keduanya layak bersanding menjadi sister city alias kota kembar.
Seperti
layaknya "saudara kembar", usia kedua kota "tua" inipun hanya terpaut 1
(satu) tahun saja. Tanggal 22 Juni 2019 yang lalu Jakarta berulang
tahun ke-492, sedangkan Banjarmasin 24 September 2019 berulang tahun ke
493, alias setahun lebih tua.
Sebagai saudara kembar, wajar saja jika keduanya mempunyai hubungan
batin yang sangat kuat, begitu pula ketika sampai saat ini Jakarta terus
dihantui oleh Banjir dan kelangkaan air tanah, wajar dan tidak ada
salahnya jika kemudian Jakarta merasa perlu belajar kepada saudara
tuanya Banjarmasin, terkait upayanya menjadi kota ramah air sekaligus
kembali kepada takdir alaminya sebagai "kota air".
Sebagai kota yang sama-sama terletak di dataran rendah, Banjarmasin dan Jakarta mempunyai fakta topografis yang sama.
Sebagian
besar ketinggian permukaan wilayah daratan keduanya berada dibawah
permukaan air laut dan secara kontinyu terus mengalami penurunan
sehingga membentuk kantong-kantong air (ruang biru) di daratan,
karenanya Banjarmasin dijuluki sebagai Kota 1000 Sungai, sedang Jakarta
kedepannya bisa menjadi Kota 1000 Rawa.
Bedanya, di Banjarmasin
kantong-kantong air ini lazim di kenal masyarakat sebagai rawa-rawa,
sungai, Anjir, handil, saka, tatah dan lainnya yang sampai sekarang
masih bisa kita lihat baik wujud maupun manfaatnya bagi masyarakat
Banjar.
Ruang Biru di Banjarmasin dengan Sawah dan Perumahan diatasnya | @kaekaha |
Sedangkan di Jakarta, kantong-kantong air yang ada sepertinya tinggal situ
dan sungai saja, sedangkan "daerah biru" berupa rawa-rawa sepertinya
banyak yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman dan hanya
meninggalkan nama depan " rawa" di depan nama kawasan tersebut, seperti
rawa buaya, rawa badak, rawa bebek, rawa mangun dll.
Uniknya,
dua kota kembar yang sama-sama segera menyandang nama "mantan ibu kota"
ini ternyata mempunyai catatan sejarah masalah lingkungan yang sama
sekali tak sama alias jauh berbeda, khususnya terkait bencana banjir.
Seperti
kita ketahui, Prasasti Tugu jejak peninggalan Kerajaan Tarumanegara
diabad 5 sudah mengabarkan adanya banjir di wilayah yang sekarang kita
kenal sebagai Jakarta, begitu juga di jaman pendudukan dan penjajahan
belanda di abad 17.
Artinya, banjir merupakan masalah klasik Kota Jakarta yang belum juga ada jalan keluarnya sampai detik ini !
Bagaimana dengan Banjarmasin?
Ini
bedanya! Secara logika Banjarmasin harusnya tidak jauh beda dengan
Jakarta, menjadi langganan banjir! Tapi faktanya, sejauh ini tidak
ditemukan catatan ataupun fakta sejarah musibah banjir terjadi di
Banjarmasin, pun sampai detik ini.
Kok bisa?
Sepertinya beberapa kearifan lokal masyarakat suku Banjar terkait budaya air inilah jawabannya.
Masyarakat
Banjar sebagai penduduk asli Kota Banjarmasin dikenal mempunyai
kedekatan budaya yang sangat kuat dengan perairan darat, baik sungai
maupun rawa.
Kedekatan keduanya selama berabad-abad melahirkan budaya unik dan khas yang sekarang kita kenal sebagai budaya sungai,
yaitu entitas budaya yang menjadikan lingkungan sungai dan perairan
darat lainya sebagai urat nadi kehidupan yang dalam perjalanannya
melahirkan tradisi cara/pola hidup, berperilaku, dan adaptasi manusia di
lingkungan perairan darat yang berlaku secara turun temurun.
Bagian dari Budaya Sungai khas Banjarmasin | @kaekaha |
Budaya
Sungai inilah, kunci utama Kota Banjarmasin yang 24 September 2019 ini
akan merayakan hari jadi yang ke-593, sampai setua itu Alhamdulillah
tidak pernah tersentuh banjir!
Tidak hanya itu! Budaya sungai juga menjadi katalis
utama masyarakat Banjar secara turun-temurun terus "peduli" untuk
melestarikan cirikhas kotanya sebagai kota ramah air dengan terus
melahirkan berbagai kearifan lokal berbasis lingkungan sungai dan
perairan darat lainnya.
Buktinya?
Meskipun beberapa dekade tetakhir arah pembangunan di banua lebih berorientasi "daratan" yang secara tidak langsung mengajak untuk "memunggungi" sungai, tetap saja tidak bisa membuat masyarakat Kota Banjarmasin sepenuhnya menjadikan sungai sebagai "halaman belakang"
Terbaru, walikota Banjarmasin justeru meluncurkan slogan baru sebagai pentahbisan Kota Banjarmasin sebagai kota air, yaitu Banjarmasin kota sungai terindah (di dunia).
Ironisnya, menurut Yu sing, Arsitek dan pengamat perkotaan dari Studio Akanoma Bandung, justeru rendahnya kepedulian masyarakat Jakarta akan lingkunganya inilah pangkal dari masalah lingkungan di Jakarta.
Banjarmasi Kota Sungai Terindah | @kaekaha |
Berikut ini "produk budaya" turunan dari budaya sungai khas
masyarakat Banjar yang diyakini membantu terbwntuknya ekologi
Banjarmasin sebagai kota ramah air dan sekaligus membebaskannya dari
bencana banjir,
Satu. Teknologi Kanal khas Banjar
Pada budaya masyarakat Banjar dikenal ada tiga jenis tingkatan saluran air buatan atau kanal, yaitu
- Anjir/Antasan, semacam saluran primer yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transportasi.
- Handil/Tatah, semacam saluran yang muaranya di sungai atau di Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan pertanian daerah daratan. Handil ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik kelompok atau bubuhan tertentu.
- Saka, merupakan saluran tersier untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi.
Beragam teknologi kanal khas buatan Urang Banjar di atas mempunyai ragam fungsi yang sangat penting bagi masyarakat.
Selain untuk kepentingan irigasi pertanian serta sebagai prasarana transportasi, kanal-kanal tersebut juga berfungsi sebagai penampung dan penyalur air pada saat air sungai pasang, sehingga dapat mengurangi luapan air serta menghindari banjir di kota.
Bahkan beberapa diantaranya juga berfungsi sebagai "kanal perlindungan"
untuk kepentingan pertahanan yang dibangun mengelilingi benteng
sebagaimana terdapat pada Benteng Tatas (sekarang Masjid Sabilal
Muhtadin).
Menurut Prof Dr HJ Schophuys, ahli hidrologi asal Belanda, kanal berupa Anjir, Handil dan Saka betul-betul karya asli masyarakat Banjar yang disebutnya sebagai sistem irigasi orang Banjar.
Kemampuan dan kebiasaan orang Banjar membuat kanal berbagai ukuran merupakan keistimewaan sekaligus membuktikan tingkat peradaban yang mereka miliki sebagai bukti nyata keramahan pada alam lingkungannya, dataran rendah yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut.
Sejak ratusan tahun
yang lalu Urang Banjar sudah mampu membangun kanal yang panjangnya
mencapai puluhan kilometer hanya dengan kekuatan tangan dan alat sangat
sederhana yang disebut Sundak, yaitu alat yang terbuat dari kayu ulin tipis atau lempengan baja berukuran lebar 20 cm dan panjang 35 cm.
Ini
yang membedakannya dengan kanal-kanal di Jakarta yang dibuat sejak
jaman Belanda dengan paradigma lebih untuk "mengeringkan Jakarta" dengan
cara mempercepat lalulintas "air bah" kiriman dari hulu menuju laut
untuk menghindari banjir yang menurut Yu Sing, sesuatu yang mustahil.
Masyarakat
Banjar, sejak dulu menyadari daerahnya sebagai kawasan pasang surut
dimana daratannya sama tinggi atau bahkan lebih rendah dari permukaan
air laut, untuk mencegah meluapnya air karena naiknya debit air sungai
kiriman dari hulu, masyarakat Banjar lebih memilih untuk memperluas
penampang dan penampung air permukaan dengan cara membuka kanal atau
saluran-saluran air buatan berbagai ukuran yang bisa menghubungkan antar
sungai, antar kanal, antar rawa atau bahkan antar sungai, kanal dan
juga rawa sekaligus.
Cara kerjanya, jika air kiriman dari hulu sungai berlebih maka air tidak serta merta membanjiri Kota, tapi terdistribusi ke berbagai kanal buatan yang juga terhubung dengan kawasan retensi atau resapan, bahkan sampai ke selokan-selokan perumahan.
Begitu juga sebaliknya, jika debit air sungai turun atau surut maka "air lebih" di kanal bisa kembali mengisi sungai.
Teknologi
kanal ala urang Banjar ini diyakini lebih efektif mencegah banjir,
daripada kanal yang difungsikan sebagai "jalan tol" untuk membuang air
bah ke laut yang secara logika jelas mustahil untuk daerah pasang surut
seperti Banjarmasin dan jakarta.
Paradigma teori ini sesuai dengan yang dilakukan Jepang, khususnya saat membangun Stadion Yokohama yang dilengkapi dengan sistem multipurpose retarding basin bagi Sungai Tsurumi.
Tampak Belakang Rumah Panggung di Banjarmasin | @kaekaha |
Dua, Rumah Panggung
Berbeda dengan rumah
panggung di daerah pedalaman Kalimantan lainnya yang biasanya untuk
mengantisipasi serangan binatang buas, maka rumah panggung di Kota
Banjarmasin dimaksudkan untuk tetap menjaga eksistensi daerah resapan
meskipum pemukiman warga terus menjamur dan menutup sebagian besar
"ruang biru" yang tersebar di seluruh penjuru kota Banjarmasin.
Kalau anda pernah ke Banjarmasin dan melihat deretan ruko atau rumah-rumah berarsitektur modern dengan halaman semen atau material padat lainnya di kiri-kanan jalan, jangan salah! Semua bangunan itu sebenarnya rumah panggung
Kalau tampak
depan, biasanya bangunan-bangunan itu mirip layaknya bangunan di tanah
keras biasa seperti di Pulau Jawa, karena bagian depan/halaman memang
diperbolehkan diurug tapi tidak untuk bagian belakang. Jadi kalau
melihat tampak belakang, baru kelihatan cirikhas bangunan rawa berupa
rumah panggung dengan kaki-kaki terbuat dari kayu ulin atau beton.
Untuk
mengawal dari sisi legalitas kearifan lokal khas masyarakat Banjar yang
satu ini, Pemerintah Kota Banjarmasin juga membuat payung hukum berupa
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 14 tahun 2009 tentang Bangunan
Panggung.
Harapannya,
dengan adanya payung hukum ini, kelestarian budaya sungai dan perairan
darat berikut berbagai kearifan lokal khas banua ini tidak hanya menjadi
milik serta tanggung jawab suku Banjar semata, tapi menjadi milik serta
tanggung jawab semua warga Kota Banjarmasin yang realitanya memang
seperti miniatur nusantara.
Untuk Jakartaku, Jakarta kita! Memang tidak mudah untuk kembali menjadi Kota yang ramah air, tapi semua masih mungkin!
Semua harus bergandeng tangan, bahu-membahu, bersama-sama menjadikan Jakarta sebagai Kota Air Terindah di dunia! Mau...?
Selain
terus belajar dengan saudara tua Banjarmasin, Jakarta harus aktif
bergerak dan kreatif berinovasi menambah atau setidaknya
mengoptimalkan penampang "ruang biru" yang ada, selain itu menurut Yu Sing ada beberapa hal yang dari sekarang bisa dikerjakan Jakarta,
- Normalisasi sungai dari sampah dan juga betonisasi yang menyebabkan hilangnya vegetasi tepian sungai, sehingga menyebabkan langkanya air tanah dan penurunan permukaan tanah.
- Menambah dan merenovasi RTH denggan konsep rain garden, taman didesain memiliki porositas yang tinggi dengan ketinggian lebih rendah dari jalan agar bisa menyerap air sebanyak mungkin, baru lebihnya dialirkan ke sungai. Selain bisa mengisi kekosongan air tanah, strategi ini juga bisa meminimalisir sedimentasi sungai.
- Menambah Biopori sebagai media optimalisasi resapan air ke dalam tanah.
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 11 September 2019 09:42 dan terpilih menjadi salah satu dari total lima pemenang bersama dalam rangka lomba blog bertema "Aku dan Air, Menabung Air Hujan, Memanen Manfaat" Hasil kerja sama antara Kompasiana dengan Pemerintah DKI Jakarta dan Bank DKI dengan hadiah sebesar 5 juta untuk lima orang pemenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar