Islam dan Orang Banjar
Masyarakat Banjar
dikenal mempunyai akar kebudayaan Islam yang sangat kuat. Sejarah
interaksi diantara keduanya dimulai sejak berdirinya Kesultanan Banjar
sekitar 5 abad yang lalu.
Sejak saat itu Islam dengan segala pernak-perniknya menjadi identitas spiritual dan cultural masyarakat suku Banjar. Sampai sekarang, jejak-jejak kedekatan diantara keduanya masih tampak jelas, baik dalam bentuk ritus
(personal maupun komunal), falsafah kehidupan, tradisi dan juga
berbagai peninggalan fisik seperti arsitektur masjid, surau dsb.
Baca Juga : Bertemu Bintang Sepakbola di Masjidil Haram
Sejak jaman keemasan Kesultanan Banjar, Kota lama Banjarmasin yang
lokasinya di muara Sungai Kuin di tepian Sungai Barito, telah menjadi
bandar perdagangan penting sekaligus pintu masuk utama pergerakan
manusia dan barang dari dan menuju pedalaman Pulau Kalimantan. Sedangkan
masyarakat Banjarnya sendiri sejak saat itu semakin mengukuhkan
identitas komunalnya sebagai bangsa pedagang yang ulung.
Uniknya, pilihan hidup komunal Urang Banjar menjadi pedagang yang ulung ini, ternyata juga terinspirasi oleh sosok Rasulullah, Muhammad SAW yang notabene (awalnya) juga seorang pedagang yang ulung.
Selain itu, inspirasi Rasulullah semakin berurat dan berakar dalam alam bawah sadar masyarakat Banjar ketika Hadits , “Pedagang yang dapat dipercaya dan jujur akan bersama-sama dengan para nabi, shiddiqin, syuhada.” (HR. At Tirmidzi), ini dijadikan rujukan masyarakat Banjar dalam ber-muamallah khususnya dalam perdagangan.
Perdagangan di Pasar Terapung Banjarmasin | @kaekaha |
Masyarakat Banjar sangat familiar dengan ungkapan "Umur tidak berbau" (teks asli dalam bahasa Banjar "Umur Kada Babau"), yaitu sebuah ungkapan bahari (tua) yang secara umum bisa dimaknai sebagai ajal atau maut bisa datang kapan saja. Ungkapan ini terinspirasi dari hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.”
Ungkapan "Umur tidak berbau" ini merupakan ungkapan yang paling populer di kalangan masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan setelah Lafaz Inna Lillahi wa inna ilayhi raji'un ketika mendengar kabar berita kematian atau meninggalnya seseorang.
Baca Juga : Mohon... Jangan Naik Haji Lagi!
Ungkapan
bertuah ini telah lama menjadi sugesti bagi masyarakat Banjar "untuk
selalu ingat mati" khususnya disaat yang tepat, karena dengan mengingat
mati, diyakini masyarakat Banjar akan melembutkan hati, qana’ah dan
lebih berhati-hati dalam proses ber-muamallah, baik dalam konteks Hablumminannas maupun Hablumminallah.
Panggilan Allah untuk Manusia | annajah.com |
Jika anda ingin melihat atau merasakan secara langsung salah satu tradisi muamallah
masyarakat Banjar yang merupakan kombinasi antara kearifan lokal suku
Banjar dengan syariat Islam, coba anda jalan-jalan ke pasar terapung dan
coba belilah sesuatu dari para acil-acil pedagang yang ada. Coba perhatikan di akhir transaksi! Acil-acil itu
biasanya akan mengucapkan kata “Jual” dan anda sebagi pembeli
seharusnya mengucapkan “Beli”. Itulah yang namanya ijab kabul dalam jual
beli, salah satu tradisi "kearifan lokal" masyarakat Banjar yang
diadopsi dari syariat Islam.
Orang Banjar Naik Haji
Kalau memperhatikan daerah-daerah di Indonesia yang daftar tunggu haji atau waiting list-nya tergolong lama, yaitu Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Aceh dan Jawa Timur sepertinya ada benang merah diantara daerah-daerah tersebut yang bisa kita ambil sebagai materi kajian.
Benang merah pertama adalah, daerah-daerah tersebut merupakan “rumah” bagi suku-suku di Indonesia yang dikenal mempunyai akar kebudayaan Islam yang sangat kuat. Saking kuatnya, suku Aceh di Aceh, Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur serta Madura di Jawa Timur ini sangat identik dengan agama Islam.
Sedangkan benang merah keduanya adalah latar belakang identitas komunal suku-suku ini yang dikenal mempunyai tradisi kuat dalam perdagangan sehingga melahirkan pedagang-pedagang ulung yang tangguh.
Jamaah Haji Banjar Memasuki Pesawat | kalamanthana.com |
Khusus untuk Sejarah haji Orang Banjar, menurut budayawan Banjar Zulfaisal Putra memang tidak ada catatan resmi yang bisa dijadikan rujukan, tapi jika melihat sejarah hidup Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari (1710-1812), ulama berpengaruh dari Kesultanan Banjar ini semasa hidupnya pernah menetap di Mekkah sekitar 30 tahunan.
Artinya, tahun 1700-an sudah ada Urang Banjar yang naik haji. Bahkan, menurut catatan Lesley Potter (2000), sebagaimana dikutip Taufik Arbain, yang tahun 1800-1900-an mencatat besarnya persentase dan proporsi orang Banjar yang menunaikan ibadah haji jika dibandingkan penduduk di pulau Jawa.
Kisah perjalanan naik haji Orang Banjar berikut pernak-pernik yang menyertainya, tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang spiritual dan cultural-nya sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia yang identik dengan agama Islam dan identitas komunalnya sebagai pedagang-pedagang ulung, seperti halnya suku Aceh, Bugis, Makassar dan Madura yang sama-sama mempunyai akar kebudayaan Islam yang kuat, masyarakat Banjar termasuk penyumbang jamaah haji terbesar di Indonesia.
Jabal Rahmah Diluar Musim Haji | @kaekaha |
Saat ini, daftar tunggu haji untuk Kalimantan Selatan menurut situs resmi milik Kementerian Agama haji.kemenag.go.id hampir mencapai 30 tahun dan menempati urutan ke-2 terlama setelah Sulawesi Selatan yang daftar tunggunya dirinci per-kabupaten.
Kenapa antusias masyarakat Banjar begitu besar untuk naik haji?
Hampir sama dengan daerah lain di Indonesia, ibadah haji bagi masyarakat Banjar tidak hanya menjadi bukti ketaatan tertinggi kepada Sang Maha Kuasa Allah SWT, tapi juga menjadi bagian dari eksistensi status sosial di masyarakat.
Selain mendapat "tempat khusus" dari lingkungan sekitar, biasanya Pak Haji atau Ma Haji akan selalu diberikan tempat terdekat dengan tuan Guru bila ada acara keagamaan. Mantap kan!?
Sudah menjadi tradisi bagi semua masyarakat Banjar untuk selalu menjaga “mimpi” naik haji, apapun latar belakang kehidupannya, mau laki-laki atau perempuan, miskin atau kaya, tua atau muda sejak lahir semuanya akan mendapatkan doa dan sugesti dari lingkungannya agar kelak bisa menunaikan ibadah haji ketika saatnya berhaji tiba. Karena itu pula, sejak jaman nini-kai dulu masyarakat Banjar sudah terbiasa untuk menyiapkan ibadah haji sejak dini.
Selain ritual doa untuk si anak, realitas mempersiapkan ibadah haji sejak dini masyarakat Banjar yang "terpenting" adalah dalam bentuk menyisihkan sebagian pendapatan atau menabung untuk bekal berhaji, baik untuk diri sendiri maupun untuk si-anak sejak kelahirannya. Kalau sekarang, menabungnya di Bank Danamon Syariah yang telah ditunjuk pemerintah untuk menerima setoran ONH, khusus untuk tabungan anak-anak biasanya masih menggunakan nama pengampu.
Pertama, keyakinan sugestif “Umur tidak berbau". Kita tidak akan pernah tahu kapan ajal menjemput kita. Karenanya, Urang Banjar lebih memilih untuk berpikiran positif (husnudzan) dengan berinisiatif sesegera mungkin naik haji sebelum ajal menjemput.
Kedua, dengan menyegarakan niat beribadah haji sejak dini, setidaknya ada tiga hal yang akan kita mulai dan dapatkan, yaitu :
Mulai berniat sungguh-sungguh untuk berhaji dan kalaupun kita meninggal sebelum panggilan datang, setidaknya kita sudah mendapatkan pahala niat.
Urang Banjar meyakini hanya orang yang benar-benar siap lahir (materi/finansial, fisik, ilmu dan waktu tunggu) dan batin (taqwa) saja yang akan mendapatkan panggilan berhaji dari-Nya. Karena itu, Urang Banjar selalu berusaha semaksimal mungkin memulai persiapan berhaji sejak dini, bahkan sejak bayi baru lahir.
Terakhir, urang Banjar juga meyakini siapapun yang meluruskan niat berhaji dan sungguh-sungguh mempersiapkan semuanya sejak dini, maka Insha Allah, Allah sendiri yang akan menuntun, memudahkan serta memampukannya.
Masyarakat Banjar Biasa Melaksanakan Ibadah Umrah dan Haji di Usia Muda (Foto : @kaekaha) |
Ketiga, kebiasaan menabung sejak dini untuk biaya haji diyakini mempunyai multi manfaat, tidak hanya untuk bekal berhaji saja tapi juga melatih untuk konsisten menjaga ketahanan keuangan keluarga dan yang sering tidak disadari adalah manfaat menabung sebagai terapi proses dan juga terapi kesabaran yang diyakini sangat efektif untuk mendidik anak-anak agar gemar menabung dan (menjawab tantangan milenial kekinian) agar anak tidak mudah terjebak dengan pola pikir serta perilaku pragmatisme dan instantisme.
Keempat, dengan jeda waktu sekitar 12 tahun (dihitung dari umur 0-12 tahun, batas umur diijinkan naik haji) ditambah dengan daftar tunggu sekitar 30 tahun, Insha Allah Anak-anak akan naik haji pada usia 42 tahun, range usia matang dan masih tergolong kuat dan sehat untuk menjalani ritual haji yang penuh tantangan fisik dan psikhis.
Kelima, prosesi (budaya) keberangkatan naik haji masyarakat Banjar juga membutuhkan biaya, diawali dengan melaksanakan shalat hajat, selamatan (sehari sebelum berangkat) serta upacara tapung Tawar di hari keberangkatan dengan mengundang sanak saudara, tetangga dan semua orang yang dikenal (tergantung kemampuan finansial masing-masing).
Karena "umur tidak berbau" acara selamatan ini biasanya juga dimanfaatkan tuan rumah untuk meminta maaf, keridhaan, kerelaan, keikhlasan termasuk minta bantu doa dari tamu yang datang saat melepas kepergiannya ke tanah suci.
Begitu juga ketika pulang haji, mereka disambut dengan sebuah lawang sekepeng di gerbang masuk halaman rumah dengan atap kain putih memanjang sampai pintu rumah. Biasanya, setelah itu akan banyak tamu yang bersilaturahmi ke rumah.
Uraian ini saya sarikan dari kisah nyata persiapan perjalanan ibadah haji diusia muda yang dijalani istri saya, Hj. Hamida Yanti pada tahun 1989 yang saat itu dicatat Departemen Agama dan Garuda Indonesia sebagai jamaah haji termuda, yaitu berusia 12 tahun 5 bulan 8 hari. Semoga bermanfaat.
Sertifikat Jamaah Haji Termuda dari Garuda Indonesia | @kaekaha |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar