Setelah manyambur cirat alias anak kodok yang telah dipasang di kawat unjunan dengan sedikit ludah, sambil terus berkomat-kamit membaca mantera tuha, umpan khusus untuk mamair, ada juga sebagaian masyarakat Banjar menyebutnya dengan maunjat iwak haruan itu dilemparkan sidin jauh ke tengah rawa-rawa yang hampir tidak terlihat air permukaannya karena masih banyak ditumbuhi rerumputan, ilalang dan tanaman-tanaman rawa lainnya seperti Jariangau, genjer, kangkung, kalakai, supan-supan, rerumputan rawa juga beragam jenis warna-warni bunga lotus dan juga bunga batang talipuk berbagai ukuran yang pagi ini mulai mekar merekah begitu indah, ada warna putih, merah muda, merah, ungu juga biru.
Inilah salah satu bukti kuasa dan kebesaran Sang Khalik yang tak terbantahkan! Hebatnya, setiap datang musim hujan, kami warga Kampung Mandarsari selalu menjadi saksinya!
Coba bayangkan, kecuali hanya menyisakan pada bagian tengah rawa seluas sekitar empat hektar saja yang memang lebih dalam, hampir semua sisi luar rawa atau tepian rawa yang total luasnya hampir 20 hektar itu selalu kering kerontang ketika datang puncak musim kemarau. Bahkan, di area yang biasa di tanami padi rawa itu, kami anak-anak kampung Mandarsari juga bisa bermain bola sepuasnya seperti di tanah lapang.
Saat-saat seperti itu, dari sumur atau bagian tengah rawa yang menyisakan kubangan air yang tidak terlalu dalam, kami biasa memanen beragam jenis ikan air tawar. Selain iwak haruan dan tauman, ada juga iwak keluarga suku gurami-guramian seperti iwak Kalui, Kapar, Sapat, Sapat siam dan si-"climbing gouramy" alias iwak papuyu, baung, walut, patin bahkan terkadang ada juga iwak lais, saluang, lundu, sanggiringan, lele, nila, dan juga ikan mas berbagai ukuran yang tergiring masuk ke dalam sumur seiring semakin menyusutnya air rawa. Aktivitas ini biasa kami sebut sebagai maiwak.
Ajaibnya, belum lama musim hujan membasahi bumi dan kira-kira baru cukup menggenangi kembali area rawa yang tadinya kering, tidak menunggu lama berbagai tanaman rawa bisa langsung tumbuh disitu memberikan nuansa hijau segar, bahkan beberapa diantaranya juga mengeluarkan warna-warni bunga yang indah dan sedap dipandang mata.
Hebatnya lagi adalah keberadaan beragam jenis dan ukuran ikan-ikan penghuni rawa yang kembali terlihat berenang-renang diantara batang tanaman rawa yang terlihat tumbuh subur.
Dari mana ikan-ikan itu datang?
Setelah beberapa kali mencoba melempar umpan cirat ke arah sarang koloni “keluarga” iwak haruan di tengah-tengah rawa yang berjarak sekitar sepuluh meter dari tempat sidin berdiri, tepat di lemparan ke-tiga, umpan cirat sepertinya tepat menemui sasaran yang diinginkan sidin, masuk di sela-sela dedaunan tanaman rawa.
Sebenarnya, ekosistem lahan rawa di awal musim hujan yang umumnya masih lebat dengan berbagai macam tumbuhan liarnya yang khas, bukan tempat yang ideal untuk berburu iwak haruan dengan teknik mamair, cocoknya pakai cara mambandan. Tapi rumus itu sepertinya tidak berlaku bagi sepasang bapak dan anak, Julak Saleh yang biasa kami panggil dengan Julak Aleh dan anaknya Julkipli, sahabatku sejak masih halus yang biasa kami sapa Ijul. Bagi keduanya, mamair dan mambandan iwak Haruan dimanapun, selalu berbuah hasil yang menakjubkan.
Ini buktinya!
Tidak menunggu lama, tantaran buluh sepanjang lebih dari tujuh meter dengan panjang tali unjunan sepadan yang semula dipegang sidin dengan tangan kiri, sekarang pangkalnya sudah menempel di perut dan laras panjangnya sudah mulai dipegang kedua tangan sidin. Artinya, pertunjukan akan segera dimulai!
Tantaran panjang itu langsung dimainkan sidin dengan cara ditarik pelan-pelan dan sesekali diimbuhi dengan hentakan-hentakan kecil yang menyebabkan cirat benar-benar seperti layaknya anak kodok hidup yang berenang-renang di permukaan air dan sesekali melompat-lompat diantara batang dan daun tumbuhan rawa yang pagi itu terlihat hijau segar ditimpa cahaya mentari pagi yang baru saja merekah.
Cara memainkan tantaran inilah kunci utama sekaligus parameter paling aktual untuk melihat level kualitas seorang pamairan! Dimulai dari melempar umpan yang tidak boleh terlalu gancang karena bisa membuat koloni ikan haruan justeru kabur dan juga tidak boleh terlalu pelan, karena lemparan umpan cirat bisa tidak sampai ke sarang koloni iwak haruan. Pada prinsipnya, iwak haruan yang termasuk binatang teritorial, umumnya akan merespon dengan cepat semua obyek yang berpotensi mengganggu area kekuasaannya.
Begitu juga ketepatan mengatur ritme dalam menarik dan menghentak tantaran yang menjadikan cirat senatural mungkin berenang dan melompat dipermukaan air dan batang atau dedaunan tumbuhan rawa seperti lazimnya, sehingga mampu menggoda juga mengganggu emosi induk sang predator yang biasanya pada awal musim hujan seperti sekarang sedang galak-galaknya karena insting keibuannya menjaga anak-anaknya yang baru saja menetas
Coba bayangkan, kecuali hanya menyisakan pada bagian tengah rawa seluas sekitar empat hektar saja yang memang lebih dalam, hampir semua sisi luar rawa atau tepian rawa yang total luasnya hampir 20 hektar itu selalu kering kerontang ketika datang puncak musim kemarau. Bahkan, di area yang biasa di tanami padi rawa itu, kami anak-anak kampung Mandarsari juga bisa bermain bola sepuasnya seperti di tanah lapang.
Saat-saat seperti itu, dari sumur atau bagian tengah rawa yang menyisakan kubangan air yang tidak terlalu dalam, kami biasa memanen beragam jenis ikan air tawar. Selain iwak haruan dan tauman, ada juga iwak keluarga suku gurami-guramian seperti iwak Kalui, Kapar, Sapat, Sapat siam dan si-"climbing gouramy" alias iwak papuyu, baung, walut, patin bahkan terkadang ada juga iwak lais, saluang, lundu, sanggiringan, lele, nila, dan juga ikan mas berbagai ukuran yang tergiring masuk ke dalam sumur seiring semakin menyusutnya air rawa. Aktivitas ini biasa kami sebut sebagai maiwak.
Ajaibnya, belum lama musim hujan membasahi bumi dan kira-kira baru cukup menggenangi kembali area rawa yang tadinya kering, tidak menunggu lama berbagai tanaman rawa bisa langsung tumbuh disitu memberikan nuansa hijau segar, bahkan beberapa diantaranya juga mengeluarkan warna-warni bunga yang indah dan sedap dipandang mata.
Hebatnya lagi adalah keberadaan beragam jenis dan ukuran ikan-ikan penghuni rawa yang kembali terlihat berenang-renang diantara batang tanaman rawa yang terlihat tumbuh subur.
Dari mana ikan-ikan itu datang?
Setelah beberapa kali mencoba melempar umpan cirat ke arah sarang koloni “keluarga” iwak haruan di tengah-tengah rawa yang berjarak sekitar sepuluh meter dari tempat sidin berdiri, tepat di lemparan ke-tiga, umpan cirat sepertinya tepat menemui sasaran yang diinginkan sidin, masuk di sela-sela dedaunan tanaman rawa.
Sebenarnya, ekosistem lahan rawa di awal musim hujan yang umumnya masih lebat dengan berbagai macam tumbuhan liarnya yang khas, bukan tempat yang ideal untuk berburu iwak haruan dengan teknik mamair, cocoknya pakai cara mambandan. Tapi rumus itu sepertinya tidak berlaku bagi sepasang bapak dan anak, Julak Saleh yang biasa kami panggil dengan Julak Aleh dan anaknya Julkipli, sahabatku sejak masih halus yang biasa kami sapa Ijul. Bagi keduanya, mamair dan mambandan iwak Haruan dimanapun, selalu berbuah hasil yang menakjubkan.
Ini buktinya!
Tidak menunggu lama, tantaran buluh sepanjang lebih dari tujuh meter dengan panjang tali unjunan sepadan yang semula dipegang sidin dengan tangan kiri, sekarang pangkalnya sudah menempel di perut dan laras panjangnya sudah mulai dipegang kedua tangan sidin. Artinya, pertunjukan akan segera dimulai!
Tantaran panjang itu langsung dimainkan sidin dengan cara ditarik pelan-pelan dan sesekali diimbuhi dengan hentakan-hentakan kecil yang menyebabkan cirat benar-benar seperti layaknya anak kodok hidup yang berenang-renang di permukaan air dan sesekali melompat-lompat diantara batang dan daun tumbuhan rawa yang pagi itu terlihat hijau segar ditimpa cahaya mentari pagi yang baru saja merekah.
Cara memainkan tantaran inilah kunci utama sekaligus parameter paling aktual untuk melihat level kualitas seorang pamairan! Dimulai dari melempar umpan yang tidak boleh terlalu gancang karena bisa membuat koloni ikan haruan justeru kabur dan juga tidak boleh terlalu pelan, karena lemparan umpan cirat bisa tidak sampai ke sarang koloni iwak haruan. Pada prinsipnya, iwak haruan yang termasuk binatang teritorial, umumnya akan merespon dengan cepat semua obyek yang berpotensi mengganggu area kekuasaannya.
Begitu juga ketepatan mengatur ritme dalam menarik dan menghentak tantaran yang menjadikan cirat senatural mungkin berenang dan melompat dipermukaan air dan batang atau dedaunan tumbuhan rawa seperti lazimnya, sehingga mampu menggoda juga mengganggu emosi induk sang predator yang biasanya pada awal musim hujan seperti sekarang sedang galak-galaknya karena insting keibuannya menjaga anak-anaknya yang baru saja menetas
Inilah pertunjukan seni mamair iwak haruan, salah satu dari sekian banyak cara tradisional Urang Banjar menangkap iwak haruan, salah satu spesies ikan terpenting dalam tradisi kuliner Suku Banjar di Kalimantan.
Uniknya lagi, selain mantera tuha yang disebut sebut hanya bisa dikuasai dan diturunkan kepada keturunan sah para pemburu iwak haruan terlatih yang dimasa lalu konon mendapatkan pengakuan khusus atau semacam sertifikat keahlian dari kesultanan, keahlian seni mamair iwak haruan ini juga tergolong istimewa. Meskipun tidak berlaku bersyarat seperti layaknya mantera tuha, sehingga siapapun seharusnya bisa melakukan atau setidaknya berlatih untuk melakukannya, tapi fakta uniknya memang tidak semua Urang Banjar bisa lulus ujian untuk menguasai secara sempurna seni, keahlian atau teknik menangkap ikan khas Urang Banjar yang luar biasa uniknya ini.
Mungkin ini ada hubungannya dengan kebiasaan turun menurun yang telah menjadi tradisi dan keyakinan Urang Banjar sejak bahari yang menurut abah memang tidak sembarangan. Menurut sidin,untuk bisa menjadi seorang pamairan iwak Haruan atau pemburu haruan yang harat, selain memang harus ada trah atau garis keturunan sah pamairan pewaris mantera tuha, memang memerlukah keahlian khusus yang dimasa lalu syarat atau kriterianya, konon ditentukan langsung oleh kesultanan.
Beberapa syarat yang sampai sekarang masih diingat para tetuha dan telah menjadi rahasia umum pamairan di kampung kami antara lain harus mempunyai kemampuan atau keahlian memilih sekaligus memainkan “peralatan tempur” wajib terbaik untuk mamair , seperti tantaran buluh panjang dan tali unjunan yang liat dan kuat, umpan cirat hidup yang sesuai dengan target, pemilihan spot atau tempat mamair yang potensial dan yang tidak kalah pentingnya adalah fisik yang sehat dan kuat. Setidaknya dimanifestasikan pada otot lengan yang kuat.
Uniknya lagi, selain mantera tuha yang disebut sebut hanya bisa dikuasai dan diturunkan kepada keturunan sah para pemburu iwak haruan terlatih yang dimasa lalu konon mendapatkan pengakuan khusus atau semacam sertifikat keahlian dari kesultanan, keahlian seni mamair iwak haruan ini juga tergolong istimewa. Meskipun tidak berlaku bersyarat seperti layaknya mantera tuha, sehingga siapapun seharusnya bisa melakukan atau setidaknya berlatih untuk melakukannya, tapi fakta uniknya memang tidak semua Urang Banjar bisa lulus ujian untuk menguasai secara sempurna seni, keahlian atau teknik menangkap ikan khas Urang Banjar yang luar biasa uniknya ini.
Mungkin ini ada hubungannya dengan kebiasaan turun menurun yang telah menjadi tradisi dan keyakinan Urang Banjar sejak bahari yang menurut abah memang tidak sembarangan. Menurut sidin,untuk bisa menjadi seorang pamairan iwak Haruan atau pemburu haruan yang harat, selain memang harus ada trah atau garis keturunan sah pamairan pewaris mantera tuha, memang memerlukah keahlian khusus yang dimasa lalu syarat atau kriterianya, konon ditentukan langsung oleh kesultanan.
Beberapa syarat yang sampai sekarang masih diingat para tetuha dan telah menjadi rahasia umum pamairan di kampung kami antara lain harus mempunyai kemampuan atau keahlian memilih sekaligus memainkan “peralatan tempur” wajib terbaik untuk mamair , seperti tantaran buluh panjang dan tali unjunan yang liat dan kuat, umpan cirat hidup yang sesuai dengan target, pemilihan spot atau tempat mamair yang potensial dan yang tidak kalah pentingnya adalah fisik yang sehat dan kuat. Setidaknya dimanifestasikan pada otot lengan yang kuat.
Selain itu, sorang pamairan yang harat juga harus mempunyai kemampuan mengelola dan mengendalikan suasana hati serta fikiran dengan baik dan pastinya juga harus sabar.
Oya, pamairan di kampung kami, Mandarsari dan sebagian besar Urang Banjar, umumnya mempunyai keyakinan kalau tantaran buluh panjang mempunyai hoki alias membawa keberuntungan yang lebih baik, terlebih jika mempunyai ruas-ruas dengan jumlah angka tertentu. Tidak heran, jika sampai saat ini di kampung kami tidak ada satupun pamair yang menggunakan tantaran modern yang biasa kami sebut dengan antena yang konon jauh lebih ringan dan canggih untuk mamair ataupun maunjun.
Selain itu, jerujut alias citarasa tarikan saat strike atau saat ada perlawanan dari ikan yang memakan umpan rasanya lebih berasa asyik jika dibanding dengan tantaran unjun lain yang lebih modern dan praktis.
Mamair merupakan salah satu dari tiga cara maunjun atau memancing tradisional ikan jenis haruan dan kerabat dekatnya ikan tauman yang paling umum dan popular di kalangan masyarakat Banjar. Dua cara lainnya yang dikenal dengan sebutan mambandan dan mambanjur.
Diantara ketiga jenis cara maunjun haruan diatas , masing-masing mempunyai kelebihan, kekurangan dan tentunya keunikan berbeda-beda. Tapi untuk urusan berhibur yang bisa memancing adrenalin, cara mamair dan mambandan merupakan pilihan yang paling tepat. Jangankan para pamairan yang merasakan secara langsung sensasi dari jerujut iwak haruan atau tauman yang terkenal “ganas”, saya yang hanya melihat “acara” mancing khas Urang Banjar ini saja juga ikut-ikutan garigitan lho!
(Bersambung)
Kamus Bahasa Banjar
Abah = Bapak/Ayah
Bahari = dulu/lama
Bakul = Semacam wadah berbentuk kantong/tas tradisional multifungsi yang terbuat dari daun purun/rumput rawa
Batang talipuk = Teratai (Nymphae pubescens Willd).
Baung = Ikan Baung Kalimantan (Hemibagrus fortis/Hemibagrus nemurus),
Biawan = Ikan Tambakan (Helostoma temminckii)
Buluh = Bambu
Bunga Lotus = keluarga teratai yang daun dan tangkai bunganya tumbuh jauh di atas permuakan air
Cirat = Anak Kodok
Datu = Kakek Buyut
Ganal = Besar
Garigitan = Geregetan
Genjer = Sayuran genjer (Limnocharis flava)
Halus = Kecil
Harat = Hebat
Haruan = Ikan Gabus (Channa striata)
Iwak = ikan
Jelawat = Ikan Jelawat (Leptobarbus hoevenii)
Jariangau = Jeringau, Dringu (Acorus calamus) tanaman rawa/lahan basah
Julak = Setara dengan kakaknya ibu/bapak (sama dengan pak de ; bhs Jawa)
Kapar = Ikan beloncah (Belontia hasselti),
Kapis = Wadah ikan hasil memancing
Kalakai = Sayuran Pakis (Stechnolaena palustris)
Kaluy = Ikan Gurame (Osphronemus gourami)
Kayu Ulin = Kayu besi khas Kalimantan (Eusideroxylon zwageri ) yang sangat kuat
Lais = Ikan lais (Kryptopterus dan Ompok)
Mamair = teknik memancing ikan haruan yang di dalam istilah memancing modern sekarang dikenal sebagi teknik casting
Manyambur = Menyemprot
Manyurung = Memberi/Mengantar sampai di hadapan langsung
Maunjun = Memancing
Pamairan = Kelompok/sekumpulan orang yang mamair
Papuyu = Ikan betik/betok (Anabas testudineus)
Pisang Menurun = Pisang Kepok
Puyau = Ikan Nilem (Osteochilus hasselti)
Saluang = Ikan seluang (Rasbora argyrotaenia)
Sapat = Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus/Tricogaster leerii)
Sapat siam = Sepat siam (Trichogaster pectoralis)
Sidin = Beliau
Supan-supan = Sejenis Tanaman Puteri malu (Neptunia oleracea),
Tali Unjunan = Senar
Tantaran = Joran atau bilah yang umumnya terbuat dari bambu untuk memancing
Tantaran antena = Joran fiber modern
Tauman = Ikan Toman (Channa micropeltes)
Tuha = Tua
Tetuha = Para Orang Tua atau orang-orang yang dituakan dalam tradisi masyarakat Banjar
Unjunan = Pancingan ( umumnya merujuk pada seperangkat alat pancing yang sedang dipakai)
Ulahan = Buatan
Urang Banjar = Orang suku Banjar
Walut = Belut (Monopterus albus)
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 13 April 2020 08:42
Oya, pamairan di kampung kami, Mandarsari dan sebagian besar Urang Banjar, umumnya mempunyai keyakinan kalau tantaran buluh panjang mempunyai hoki alias membawa keberuntungan yang lebih baik, terlebih jika mempunyai ruas-ruas dengan jumlah angka tertentu. Tidak heran, jika sampai saat ini di kampung kami tidak ada satupun pamair yang menggunakan tantaran modern yang biasa kami sebut dengan antena yang konon jauh lebih ringan dan canggih untuk mamair ataupun maunjun.
Selain itu, jerujut alias citarasa tarikan saat strike atau saat ada perlawanan dari ikan yang memakan umpan rasanya lebih berasa asyik jika dibanding dengan tantaran unjun lain yang lebih modern dan praktis.
Mamair merupakan salah satu dari tiga cara maunjun atau memancing tradisional ikan jenis haruan dan kerabat dekatnya ikan tauman yang paling umum dan popular di kalangan masyarakat Banjar. Dua cara lainnya yang dikenal dengan sebutan mambandan dan mambanjur.
Diantara ketiga jenis cara maunjun haruan diatas , masing-masing mempunyai kelebihan, kekurangan dan tentunya keunikan berbeda-beda. Tapi untuk urusan berhibur yang bisa memancing adrenalin, cara mamair dan mambandan merupakan pilihan yang paling tepat. Jangankan para pamairan yang merasakan secara langsung sensasi dari jerujut iwak haruan atau tauman yang terkenal “ganas”, saya yang hanya melihat “acara” mancing khas Urang Banjar ini saja juga ikut-ikutan garigitan lho!
(Bersambung)
Kamus Bahasa Banjar
Abah = Bapak/Ayah
Bahari = dulu/lama
Bakul = Semacam wadah berbentuk kantong/tas tradisional multifungsi yang terbuat dari daun purun/rumput rawa
Batang talipuk = Teratai (Nymphae pubescens Willd).
Baung = Ikan Baung Kalimantan (Hemibagrus fortis/Hemibagrus nemurus),
Biawan = Ikan Tambakan (Helostoma temminckii)
Buluh = Bambu
Bunga Lotus = keluarga teratai yang daun dan tangkai bunganya tumbuh jauh di atas permuakan air
Cirat = Anak Kodok
Datu = Kakek Buyut
Ganal = Besar
Garigitan = Geregetan
Genjer = Sayuran genjer (Limnocharis flava)
Halus = Kecil
Harat = Hebat
Haruan = Ikan Gabus (Channa striata)
Iwak = ikan
Jelawat = Ikan Jelawat (Leptobarbus hoevenii)
Jariangau = Jeringau, Dringu (Acorus calamus) tanaman rawa/lahan basah
Julak = Setara dengan kakaknya ibu/bapak (sama dengan pak de ; bhs Jawa)
Kapar = Ikan beloncah (Belontia hasselti),
Kapis = Wadah ikan hasil memancing
Kalakai = Sayuran Pakis (Stechnolaena palustris)
Kaluy = Ikan Gurame (Osphronemus gourami)
Kayu Ulin = Kayu besi khas Kalimantan (Eusideroxylon zwageri ) yang sangat kuat
Lais = Ikan lais (Kryptopterus dan Ompok)
Mamair = teknik memancing ikan haruan yang di dalam istilah memancing modern sekarang dikenal sebagi teknik casting
Manyambur = Menyemprot
Manyurung = Memberi/Mengantar sampai di hadapan langsung
Maunjun = Memancing
Pamairan = Kelompok/sekumpulan orang yang mamair
Papuyu = Ikan betik/betok (Anabas testudineus)
Pisang Menurun = Pisang Kepok
Puyau = Ikan Nilem (Osteochilus hasselti)
Saluang = Ikan seluang (Rasbora argyrotaenia)
Sapat = Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus/Tricogaster leerii)
Sapat siam = Sepat siam (Trichogaster pectoralis)
Sidin = Beliau
Supan-supan = Sejenis Tanaman Puteri malu (Neptunia oleracea),
Tali Unjunan = Senar
Tantaran = Joran atau bilah yang umumnya terbuat dari bambu untuk memancing
Tantaran antena = Joran fiber modern
Tauman = Ikan Toman (Channa micropeltes)
Tuha = Tua
Tetuha = Para Orang Tua atau orang-orang yang dituakan dalam tradisi masyarakat Banjar
Unjunan = Pancingan ( umumnya merujuk pada seperangkat alat pancing yang sedang dipakai)
Ulahan = Buatan
Urang Banjar = Orang suku Banjar
Walut = Belut (Monopterus albus)
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 13 April 2020 08:42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar