Islamaktual.com |
"Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang)
melawan dirinya dan hawa nafsunya" (Hadits shahih diriwayatkan oleh
Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr).
Hadis sahih yang diriwayatkan oleh Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu dan juga oleh Abu Nu'aim dan Ad-Dailami ini juga dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami'ush-Shaghr, no 1099 dan secara rinci beliau jelaskan dalam Silsilah Ash-Shhihah, no. 1496.
Marah dan kemarahan yang berujung pada permusuhan dan perseteruan
merupakan bagian dari misi penyesatan setan kepada kita melalui salah
satu titik terlemah dalam sistem kontrol kita sekaligus titik paling
vital dari fitrah kita sebagai manusia, yaitu hawa nafsu.
Karenanya,
Islam sangat menganjurkan umatnya untuk mengelola nafsu amarah sebijak
mungkin, agar tidak menimbulkan permasalahan yang berdampak negatif,
karena secara medik ternyata marah yang berlebihan akan direspon oleh
tubuh dengan melepaskan hormon-hormon stres seperti kortisol dan adrenalin yang bisa meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan masalah kesehatan lainnya jika tidak dikelola dengan benar.
Apalagi saat ini, kita berada di bulan suci Ramadhan yang penuh dengan berkah, rahmat dan ampunan plus
adanya janji Allah "medali" kemenangan diujung Ramadhan berupa
kembalinya kita kepada fitrah seperti layaknya bayi yang baru lahir yang
bersih dari dosa!
Memang bukan perkara mudah untuk bisa mengelola potensi amarah, karenanya Rasulullah sampai memberi perumpamaan orang yang bisa mengelola amarah itu sebagai orang yang kuat (Fath al-Bari, 10/520)
Untuk itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi Wassallam memberi tuntunan berupa strategi yang praktis dan efektif untuk mengendalikan amarah yang Insha Allah mudah untuk diamalkan oleh semua umat Islam, berikut anjuran nabi tersebut :
- Membaca Ta'awwudz. Rasulullah bersabda "Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu A'udzu billah minasy syaithaanir rajim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)." (HR. Bukhari Muslim).
- Berwudlu. Rasulullah bersabda, "Kemarahan itu dari setan, sedangkan setan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudlulah." (HR. Abu Dawud).
- Mengubah posisi. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Kalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah." (HR. Abu Dawud).
- Tenang dan Diam. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah." (HR. Ahmad).
- Bersujud, artinya shalat sunnah mininal dua rakaat. Dalam sebuah hadits dikatakan "Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud)." (HR. Tirmidzi).*
Adat Badamai, Jalan Urang Banjar Meraih Kemenangan Ramadhan
Suku
Banjar mengenal Islam diperkirakan jauh sebelum agama Islam menjadi
agama resmi Kesultanan Banjar yang berdiri pada abad ke-16 melalui
kontak dagang dengan para saudagar dari Pulau Jawa dan menemukan
momentum untuk berkembang secara luas sejak Pangeran Samudera yang kelak
dikenal sebagai pendiri kesultanan Banjar menyatakan masuk Islam dan
mengganti namanya menjadi Sultan Suriansyah, sekaligus menjadikan Islam
sebagai agama resmi kesultanan.
Sejak saat itu Islam dengan segala pernak-perniknya menjadi identitas spiritual dan cultural
yang melekat pada masyarakat suku Banjar. Sampai sekarang, jejak-jejak
kedekatan diantara keduanya masih tampak jelas, baik dalam bentuk ritus adat (personal
maupun komunal), falsafah kehidupan, hukum, tradisi dan juga berbagai
peninggalan fisik seperti arsitektur masjid, surau dsb.
Salah satu tradisi adat Kesultanan Banjar yang sampai sekarang masih menjadi inspirasi bagi Urang Banjar dalam menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya terkait muamallah yang memungkinkan munculnya perseteruan, permusuhan ataupun persengketaan adalah adat badamai.
Adat yang sumber awalnya adalah Undang-Undang Sultan Adam 1835 (UUSA 1835) yaitu
Undang-Undang Kesultanan Banjar yang terbit pada tahun 1835 diera
kepimpinan Sultan Adam Al-Wastsiq Billah yang memerintah pada tahun
1825-1857, khususnya pasal Pasal 21 yang isinya adalah "Tiap
kampung kalau ada perbantahan isi kampungnja ija itu tetuha kampungnja
kusuruhkan membitjarakan mupaqat-mupaqat lawan jang tuha-tuha kampungnja
itu lamun tiada djuga dapat membitjarakan ikam bawa kepada hakim"
Artinya, "Tiap-tiap kampung bilamana terjadi sengketa, maka diperintahkan untuk mendamaikan (mamatut) dengan tetuha kampung, bilamana tidak berhasil barulah dibawa kepada hakim" ini, sampai saat ini tetap menjadi landasan norma dan perilaku dalam masyarakat Banjar.
Bahkan sampai sekarang masih menjadi suatu tradisi mamatut, yaitu tradisi penyelesaian
sengketa yang sudah melembaga untuk merukunkan kembali setiap
pertikaian, sehingga tidak terjadi perasaan dendam antara kedua belah
pihak.
Menurut Prof. Dr. Ahmadi Hasan, M.H. cendekiawan dari UIN Antasari, Banjarmasin dalam disertasi doktoral beliau menyatakan, adat badamai adalah upaya penyelesaian sengketa secara damai yang dikerjakan atau dilakukan secara berulang-ulang dan menjadi suatu kebiasaan yang lazim dan melembaga pada masyarakat Banjar.
Selain itu, adat badamai yang juga lazim disebut dengan babaikan, baparbaik, bapatut atau mamatut, baakuran atau juga penyelesaian dengan cara suluh, bisa
dimaknai sebagai hasil proses perembukan atau musyawarah dalam
pembahasan bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai
penyelesaian dari suatu masalah yang muncul.
Adat badamai, statusnya bisa naik menjadi hukum adat ketika masyarakat sudah menganggap perbuatan badamai itu sebagai suatu hal yang mesti berlaku pada masyarakat adat Banjar, karena itu sebagai suatu yang mesti dilakukan.
Dipilihnya adat badamai sebagai bagian dari pranata sosial masyarakat adat suku Banjar tentu bukan tanpa maksud dan tujuan. Adanya mekanisme musyawarah untuk mendapatkan keputusan terbaik sebagai pilihan jalan keluar dari semua permasalahan masyarakat yang muncul, dianggap bisa menghindarkan perseteruan, persengketaan, permusuhan bahkan menghilangkan perasaan dendam antar masyarakat yang dapat membahayakan tatanan sosial masyarakat.
Selain
itu, musyawarah juga dianggap sebagai media komunikasi yang efektif
untuk mempererat silaturahmi sekaligus jalinan kekerabatan antar sesama
warga masyarakat, sehingga akan semakin memperkuat sekaligus memperketat
proses kontrol sosial yang diharapkan bisa menekan munculnya
perseteruan, perselisihan ataupun persengketaan di lingkungan
masyarakat, sehingga adat Badamai ikut berperan menciptakan keamanan ketertiban dan perdamaian.
Merujuk pada posisi faktual adat Badamai dalam struktur budaya Urang Banjar, menjadi
wajar ketika sampai saat ini masyarakat enggan menyelesaikan segala
perseteruan, perselisihan atau persengketaan apapun itu melalui lembaga
ligitasi (jalur lembaga peradilan), bahkan untuk urusan terkait
pelanggaran lalu lintas sekalipun, atau bahkan terkait tindakan yang
bisa mengarah ke pelanggaran pidana seperti perkelahian yang berujung
pada penganiayaan .
Inilah wajah Badamai Urang Banjar!
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 26 Mei 2019 16:55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar