Minggu, 05 Mei 2024

Negeri 5 Menara dan Tobatku Jadi Katak dalam Tempurung

Negeri 5 Menara | @kaekaha

Berawal dari sebuah novel trilogi best seller super inspiratif berjudul  Negeri 5 Menara karya A. Fuadi,  Million Pictures dan KG Production akhirnya memutuskan untuk mengadaptasi kisah inspiratif yang diambil dari perjalanan hidup sang penulisnya ini ke layar lebar.

Memang secara garis besar, tidak ada perubahan yang signifikan pada kisah di film ini  dengan kisah dalam versi novelnya, kalaupun ada mungkin hanya sebatas  lompatan alur cerita karena ada adegan dalam novel yang tidak dipakai dalam film.

Tapi yang belum membaca novelnya nggak perlu khawatir tidak mengerti jalan cerita film ini secara runtut dan rapi, karena film ini dikemas  dengan begitu rapi dan cukup baik merepresentasikan kisah yang ada di novelnya secara utuh.

Kisah "petualangan" Negeri 5 menara dengan setting era 80-90an ini, di mulai dari pelosok di seputaran Danau Maninjau Sumatera Barat. 

Dialah Alif,  anak kampung yang kelak memberi contoh kepada kita semua, bahwa semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk sukses, asal memang berniat untuk sukses, juga berniat untuk mewujudkan kesuksesan itu.

Di sekuel pertama ini, film memang lebih banyak menyoroti dinamika kehidupan di pondok Madani yang dikisahkan terletak di Ponorogo, Jawa Timur tempat Alif melanjutkan pendidikan sesuai dengan permintaan ibunya yang berharap anaknya seperti Buya Hamka. 

Luar biasanya, film ini berhasil memberi wawasan kepada masyarakat luas, bahwa ternyata dinamika dunia pesantren jauh lebih dinamis dan kompetitif dari yang ada dalam benak kita sebelumnya  yang secara umum cenderung beranggapan dunia pondok pesantren hanya tempat belajar agama yang terbelakang.

Alif (Gazza Zubizareta), Raja (Jiofani Lubis), Dulmajid (Aris Putra), Atang (Rizki Ramdani), dan Baso (Billy Sandy) dan Said (Ernest Samudra) pemuda-pemuda tanggung yang datang dari berbagai daerah di penjuru Nusantara ini membuktikannya, mempunyai wawasan yang luas dan mempunyai mimpi dan cita-cita yang tinggi, merupakan langkah bagus untuk memulai kehidupan.

Jadi jangan mau menjadi katak dalam tempurung ! Ini yang luar biasa dari film pembuka dari kisah trilogi ini.

-Advertisement-

Tingginya cita-cita mereka,  para sahibul menara ini untuk menuntut ilmu setinggi mungkin sampai diluar negeri, jelas tidak datang tiba-tiba, tapi juga dibarengi dengan proses berwawasan  yang  luas dan ini bukan perkara biasa dan mudah bagi anak-anak era jaman itu yang secara umum tidak mempunyai akses komunikasi yang memadai.


Dengan mantra Man Jadda wajada (Siapa yang bersungguh-sungguh, pasti sukses) mereka terus berusaha semaksimal mungkin menggapai mimpinya masing-masing dalam dinamika kehidupan ala santri khas di pondok pesantren.

Semoga bermanfaat

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN 
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar