Sabtu, 24 Februari 2024

Stigma "Rumah Setan" dalam Persinggungan Societeit de Kapel dengan Peradaban Urang Banjar di Masa Lalu

Gedung Societeit de Kapel Tahun 1920. Foto-Geheugen van Nederland & KITLV

Islam dan Banjar

Sejak berdirinya Kerajaan (Islam) Banjar di abad 16, selain diakui sebagai agama resmi kerajaan, Islam telah menjadi identitas komunal dan kultural Urang Banjar. 

Bahkan, karena saking kuatnya kelindan diantara keduanya, kelak muncul semacam adagium Islam itu Banjar dan Banjar itu Islam, karena dalam perjalanannya beragam tradisi dan budaya yang dibawa Islam akhirnya begitu kuat nge-mix dengan tradisi dan budaya Banjar, sampai-sampai kelindan diantara keduanya begitu sulit untuk dibedakan mana budaya Islam dan mana budaya Banjar.

Karenanya, tidak heran jika Urang Banjar sejak dulu selalu reaktif jika harus berhadapan dengan segala hal yang bertentangan dengan agama, dalam konteks ini tentunya dengan hukum syariat dalam Islam.

Terbukti, sejak penjajahan Belanda yang sebagaimana lazimnya para penjajah Eropa lainnya yang selalu membawa misi 3G yaitu gold, glory dan gospel akhirnya sampai juga ke Banua Banjar, bermaksud menaklukkan hegemoni Urang Banjar di kampung halamannya sendiri melalui berbagai cara licik, termasuk dengan mengadu domba para "Pagustian" alias keluarga kerajaan di dalam keraton untuk menggembosi kekuatan dan kedaulatan Kerajaan Banjar dari dalam, maka Urang Banjar tidak memilih opsi lain, selain langsung mengangkat senjata untuk melawannya!

Sekali lagi kerennya! Perlawanan yang termasuk nekad ini bukan sekedar soal harga diri yang diinjak-injak kaum penjajah semata ya! Tapi juga bentuk kepatuhan pada tuntunan dalam Islam yang menyebut perlawanan kepada para penjajah dengan misi 3G-nya adalah sebuah jalan jihad fisabilillah yang semua umat Islam pasti paham dengan "keutamaannya!"

Baca Juga :  Ternyata, Kepala Demang Lehman Masih Ditawan Belanda Sampai Saat Ini

Inilah cara Urang Banjar dan saya yakini juga semua pejuang di seluruh pelosok Nusantara dalam "memaknai" apa dan siapa saja yang terdefinisikan sebagai penjajah, hingga pahlawan-pahlawan seperti Demang Lehman pun lebih memilih dihukum gantung dan bahkan kepalanya yang dipenggal sampai sekarang masih menjadi koleksi museum di Belanda daripada menyerah kepada penjajah. Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing.

De Javasche Bank Banjarmasin | FB Skyscrapercity Banjarmasin

Bangunan Belanda di Banjarmasin

Jejak-jejak kolonialisme di Bumi Kalimantan, khususnya dalam bentuk bangunan-bangunan tua di Kalimantan Selatan dan lebih spesifik lagi di "Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!", memang tidak begitu tampak seperti layaknya kota-kota lain di Indonesia.

Meskipun pada masanya, ada tercatat banyak sekali gedung megah yang dibangun pemerintahan kolonial Belanda di Kalimantan Selatan, termasuk di Kota Banjarmasin. Sebut saja De Javasche Bank, Escompto Bank (Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij)  yang berdiri tahun 1857 dan mulai beroperasi di Banjarmasin sejak tahun 1927 dan tentunya Societiet de Kapel yang kesemuanya dibangun di ruas jalan Resident de Haan Weg  atau sekarang lebih dikenal sebagai jalan Lambung Mangkurat, kawasan premium di jantung Kota Banjarmasin.

Bahkan saat itu, sebenarnya Escompto Bank bukanlah single fighter di Banjarmasin, karena ada tiga lagi bank besar yang juga beroperasi di Banjarmasin, yaitu Nederlandsch Indische Handelsbank NV, Nederlandsche Handel Maatschappij NV, dan Batavia Bank NV. Sayangnya, bangunan-bangunan megah yang konon mempunyai perpaduan estetika luar biasa cantik yang sebagian besar desainnya dirancang oleh Biro Arsitek Ed. Cuypers en Hulswit ini sekarang sudah berganti dengan bangunan-bangunan baru.

Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij | KITLV via radarbanjarmasin.com

Jika De Javasche Bank menjadi kantor Bank Indonesia Banjarmasin, Escompto Bank jadi gedung Bank Mandiri, maka Societiet de Kapel malah menjadi hutan kota.

Padahal menurut Ir. O.H. Norbruis yang lebih suka disapa Obbe, arsitek Belanda yang beberapa waktu lalu tengah mempersiapkan buku tentang peninggalan bangunan-bangunan Belanda di Indonesia, gedung-gedung atau bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda yang dibangun di Banjarmasin mempunyai kekhususan dan keunikan tersendiri.

Lahan basah berupa rawa-rawa yang mendominasi daratan Banjarmasin menjadikan desain arsitektur bangunan-bangunan tersebut berbeda dengan bangunan yang dibangun Belanda di kota-kota lain di Indonesia dan tidak menutup kemungkinan, adanya keterlibatan kearifan lokal khas Urang Banjar dalam bangunan yang bisa jadi berkonstruksi beton pertama di Banjarmasin tersebut.


Societiet de Kapel | redkal.com

Societiet de Kapel

Tapi diantara sekian banyak bangunan tua peninggalan kolonial Belanda di sepanjang "kawasan premium" Jl. Lambung Mangkurat, Banjarmasin, ternyata Societiet de Kapel juga menyimpan kisah unik terkait persinggungannya dengan peradaban masyarakat Banjar di era 1900-an. Naaaaaa, kira-kira apa ya yang terjadi!?

Pada 1898 pemerintah penjajahan Belanda mendirikan bangunan megah bergaya rumah tradisional Banjar yang kelak dikenal sebagai Societiet de Kapel. Sayang pada tahun 1920-an bangunan ini direnovasi dengan arsitektur bergaya Nieuwe Zakelijkheid yang saat itu sedang populer di Hindia Belanda.

Pembangunan gedung ini jelas tidak terlepas dari posisi strategis Banjarmasin sebagai kota besar yang semestinya menurut pemerintah penjajahan Belanda terbuka dengan kontak budaya asing. Ini kekeliruan pemerintah Belanda, mereka gagal memahami kultur sosial dan budaya masyarakat Banjar yang dikenal agamis.

Ini buktinya! Urang Banjar justeru mengenali gedung Societiet de Kapel ini sebagai "rumah setan". Meskipun gedung ini lekat dengan simbol modernitas ala Hindia Belanda saat itu, bahkan konon juga menjadi gedung yang paling indah di Kota Banjarmasin lho! 

Menurut penjelasan buku "Bandjarmasin Tempo Doeloe" yang ditulis Mansyur, sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, gedung ini merupakan tempat favorit anak muda Belanda, meneer (tuan) dan mevrouw (nyonya) besar bangsa Belanda, ekspatriat Eropa, kaum terpelajar dan golongan atas di seputaran Banjarmasin untuk berkumpul dan menghibur diri, seperti bermain biliar, berdansa, minum-minum, pertunjukan musik dan lain-lainnya.

Bagian Belakang Gedung Societeit de Kapel Tahun 1898 | KITLV & Universiteit Leiden via apahabar.com

Inilah alasan para ulama di Gemeente (Kotamadya) Banjarmasin pada era 1900-an sampai mengeluarkan fatwa Gedung Societiet de Kapel haram untuk didekati, karena sangat dekat dengan perbuatan maksiat yang sangat dilarang dalam Islam, hingga Urang Banjar sampai meyakininya sebagai tempat berkumpulnya setan dan menggelarinya sebagai rumah setan.

Tidak hanya itu! Dalam perkembangannya  Societiet de Kapel juga disinyalir menjadi tempat berkumpulnya paham rasis. Klub "dugem-nya" membuat peraturan rasis yang hanya membolehkan penggunaan bahasa Belanda dan juga melarang selain orang kulit putih untuk masuk. Masyarakat pribumi, selain petinggi negara yang memiliki pengaruh dan jabatan, hanya bisa ditempatkan sebagai pelayan.

Pasca Belanda angkat kaki dari Banjarmasin, pada masa pendudukan Jepang di era 1942-1945, gedung ini masih tetap difungsikan sebagai destinasi hiburan bagi tentara Jepang

Pasca kemerdekaan, tercatat gedung ini pernah dimanfaatkan untuk pelantikan anggota organisasi Dewan Banjar pada 3 Juli 1948, berikutnya gedung ini dijadikan Kantor Penerangan Korem 101/Antasari dan sebelum diruntuhkan untuk dijadikan hutan kota, terakhir Societiet de Kapel dijadikan kantor RRI (Radio Republik Indonesia) sebelum kelak mempunyai gedung sendiri di jalan Ahmad Yani.


Semoga Bermanfaat !

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar