"Maaf saudara Eka! Dari hasil tes dan pemeriksaan kesehatan anda, terdeteksi adanya kelainan "buta warna" pada mata anda dan konsekuensinya, anda tidak bisa meneruskan pilihan studi ke Fakultas Kedokteran"
Kronik Penyintas Buta Warna
Anda sudah membaca kisah drama romantis di kanal KKN yang saya tulis dengan judul Oedipus Complex, Ketika Cinta Tidak Lagi Buta (Warna), beberapa hari yang lalu?
Saya tidak akan menceritakan kembali isi cerita dari kisah dramatis berlatar KKN itu di sini, tapi hanya mau mengatakan saja, kalau kisah itu baru salah satu saja dari sekian banyak "drama" dalam hidup saya dengan latar buta warna.
Baca Dulu Yuk! Penting, Sebaiknya Tes Buta Warna Dulu Sebelum Memilih Sekolah/Kampus Impianmu!
Sungguh, fragmentasi dramatis yang menjadi pembuka artikel ini, tidak akan saya lupakan sampai kapanpun, tahu kenapa? Karena sudah sejak lama momen itu saya jadikan sebagai pemupuk dendam!
Gara-gara buta warna bisa menjadi sedramatis itu? Jawabannya, sangat-sangat bisa! Karena selayaknya cerita kehidupan lainnya, penyintas buta warna juga tetap berpeluang menikmati hangatnya cinta, kasih dan sayang, tapi juga sangat berpotensi merasakan diskriminasi, pembodohan, pemerasan, pengkhianatan, perselingkuhan, bahkan juga perampokan! Sangat menyedihkan bukan!?
Karenanya, sampai sekarang, setelah 3 dekade berlalu, dendam itu masih tetap membara dan sepertinya akan terus membara selama hayat masih dikandung badan! Karena saya akan terus meniup baranya dan akan menjadikannya dendam kesumat yang tidak akan pernah berkesudahan sampai kapanpun!
Bagaimana tidak!? Gara-gara buta warna, mimpi dan cita-cita besar saya untuk memberi kebanggaan dan kebahagiaan kepada orangtua, mimpi terindah yang selalu saya jaga spirit-nya di sepanjang waktu, cita-cita yang sudah saya bangun dan perjuangkan sejak kecil, harus berakhir justru ketika sebelah kaki saya sudah menapaknya!
Duuuuuuh sakitnyaaaaa!
Sedihnya lagi, semua game over oleh sebab-musabab yang sama sekali tidak saya pahami hal ihwalnya sejak awal, buta warna!
Tidak adanya mekanisme dan prosedur tes buta warna sejak dini dalam dunia pendidikan atau kesehatan kita, juga informasi komprehensif tentang buta warna berikut dampak riilnya terhadap kehidupan penyintas atau pengidapnya, menjadikan saya dan saya yakin banyak penyintas lainnya di luar sana yang akhirnya salah memetakan potensi diri, hingga berakibat salah pula memilih cita-cita, sekaligus roadmap untuk mewujudkannya.
Akibatnya saya terlambat mengetahui fakta sebagai penyintas buta warna, hingga harus membayarnya dengan ongkos yang sangat mahal untuk menanggung semua akibatnya. Tidak hanya rugi secara materi saja yang harus saya dan keluarga tanggung, tapi juga energi, waktu dan juga momentum.
Seandainya sejak kecil saya tahu sebagai penyintas buta warna, sepintar, secerdas dan sehebat apapun, saya pasti "tahu diri" dan tidak akan nekat bertindak konyol, memilih jadi dokter sebagai cita-cita!
Tidak memaksakan diri mengejar sesuatu yang memang tidak akan pernah bisa dikejar! Dengan begitu, saya dan orang tua bisa lebih fokus, efektif dan efisien memanfaatkan biaya, energi dan waktu saya untuk membangun dan merengkuh mimpi yang lain, cita-cita besar lainnya sesuai dengan kenyataan saya sebagai penyintas buta warna.
Ironi "Sebelah Mata" untuk Buta Warna
Kelainan bawaan atau terpaut sex "buta warna" memang unik! Teramat unik malah! Tidak adanya tanda atau ciri fisik yang secara visual mudah dikenali, menjadikan penyintasnya sendiripun banyak yang tidak menyadari kalau dirinya penyintas buta warna, persis seperti yang saya alami sendiri.
Sedangkan satu-satunya cara untuk mengetahui dan mengenalinya, secara resmi harus melalui serangkaian tes medis yang umumnya menggunakan alat tes yang dikenal sebagai Ishihara plate oleh dokter spesalis mata.
Memang, kalau sekedar untuk mengetahui kita buta warna atau tidak, kita bisa melakukan tes mandiri, karena alat tes Ishihara relatif bebas dan mudah digunakan, tapi tetap saja untuk menganalisa kelainan buta warnanya lebih mendalam, khususnya pada buta warna parsial, hanya dokter spesialis mata saja yang bisa menganalisa parsial di warna apa.
Ribet juga kan ternyata urusan buta warna!?
Tapi anehnya, meskipun label "tidak buta warna" menjadi persyaratan wajib di banyak pendidikan tinggi, khususnya di jurusan eksakta (teknik, kedokteran dll) dan program kedinasan milik pemerintah, bahkan juga pada banyak bidang pekerjaan yang berbasis eksakta, termasuk TNI-Polri, tapi sampai detik ini tidak ada mekanisme atau prosedur resmi untuk mendeteksi kemungkinan buta warna kepada anak-anak Indonesia sejak dini!
Apalagi memberi edukasi kepada masyarakat agar sejak dini prepare, memahami pentingnya tes buta warna, termasuk melakukan tes buta warna sejak dini kepada anak-anaknya!?
Kenapa harus sejak dini?
Tes buta warna sangat penting untuk membantu orang tua, anak-anak, sekolah dan tentunya juga pemerintah untuk memetakan blueprint potensi besar anak-anak Indonesia, agar bisa meraih gemilangnya masa depan dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Sehingga pengalaman saya salah memilih cita-cita tidak akan terulang kepada anak-anak kita lagi!
Coba bayangkan! Seandainya dalam 1 angkatan kelas kedoteran, teknik kimia, farmasi atau apa saja jurusan eksakta, 5 persen saja terdeteksi sebagai penyintas buta warna, betapa ruginya Indonesia telah menyia-nyiakan generasi emas sebegitu banyaknya!
Inilah dendam saya! Saya tidak ingin generasi emas anak-anak Indonesia tersia-siakan karena salah memilih cita-cita gara-gara masalah buta warna yang terlambat terdeteksi.
Mengedukasi Buta Warna
"Dunia tidak akan berhenti berputar, karena kamu buta warna dan gagal menjadi dokter, karena gagal menjadi dokter juga bukan akhir segalanya! Lanjutkan hidupmu, karena sejatinya hidup memberi banyak pilihan jalan suksesmu!"
Begitulah kira-kira ringkasan nasihat bijak bapak saya, ketika beliau tahu saya gagal melanjutkan di FKU karena buta warna (carrier dari jalur ibu).
Nasihat inilah yang pertama kali mengembalikan kesadaran dan semangat hidup saya. Hingga bertahap bisa keluar dari belenggu keterpurukan dan kembali bermimpi mengantungkan cita-cita setinggi langit!
Dari sini, setelah saya merasakan "hidup kembali" di dunia yang baru! Selain memutuskan untuk mengambil jurusan kuliah di ilmu sosial untuk melanjutkan studi, saya juga terus berusaha berpikir positif dan berupaya semaksimal mungkin untuk terus menggali semua potensi kreatif yang saya miliki agar bisa survive dan syukur-syukur bisa membalaskan dendam kesumat saya kepada masa depan emas anak-anak Indonesia!
Saya ingin sekali bisa memberdayakan adik-adik dan anak-anak penyintas buta warna, agar tidak "rugi besar" seperti yang pernah saya alami dulu. Inilah dendam kesumat saya!
Alhamdulillah, akhirnya saya menemukan passion saya di dunia musik, radio dan tulis menulis. Diawali dengan aktif bermusik hingga bisa membantu saya benar-benar keluar dari dunia yang lama, hingga akhirnya musik juga yang mengantarkan saya pada keseruan dunia radio.
Awalnya masih berhubungan dengan musik, yaitu sebagai music director sampai akhirnya juga tertarik cuap-cuap sebagai penyiar radio hingga pernah pegang beberapa acara sekaligus, dari acara campursari, rock & alternatif, sampai curhat-curhatan ala anak muda sampai keluarga.
Nah disinilah buta warna mulai sering menjadi tematik pembahasan yang terangkat.
Di saat bersamaan, saya juga mencoba menyalurkan lagi hobi menulis saya yang lama terpendam dengan ngonten artikel dan "kebetulan" sering dimuat di beberapa media cetak lokal dan nasional, hingga akhirnya saya berkenalan dengan dunia blog hingga bertemu Kompasiana.
Dari sini, saya menyadari dahsyatnya potensi artikel online berbasis internet. Bahkan, ketika artikel saya tentang edukasi buta warna, khususnya niat saya membangun startup tentang test buta warna berikut konsultasi gratis secara online dan booming, ketika dimuat jaringan media online yang berinduk pada jaringan TV swasta nasional, tidak menunggu lama banyak sekali respons yang masuk via email, bisa ratusan hingga ribuan yang masuk per minggunya.
Tidak hanya masyarakat umum yang ingin berdiskusi tentang kelainan buta warna yang disandang oleh anggota keluarganya saja, tapi juga dari media-media mainstream negeri ini, bahkan beberapa stasiun TV nasional sampai rela mengirimkan produser sama kameramennya untuk terbang ke Banjarmasin meliput aktivitas ngonten edukasi buta warna saya.
Sayang, saya hanya menemukan jejak tayangannya pada channel Narasi TV-nya Najwa Shihab dan TRANS 7 saja, yang lain entah raib ke mana.
Jika konten Channel Narasi TV lebih menyoroti proses perjalanan saya dari momen gagal total sampai bisa bangkit lagi, maka konten TRANS TV lebih menyoroti kreativitas dan jatuh bangun saya mengembangkan usaha kerajinan tangan dengan bendera "pernik Banua" sebagai bentuk aktualisasi dari upaya saya untuk menggali potensi kreatif guna move on dari belenggu kegagalan akibat menyandang buta warna yang dianggap unik dan menginspirasi.
Tapi saya tetap bersyukur dan layak berterima kasih, semoga cara saya berdamai dengan kelainan buta warna dengan pendekatan menggali potensi kreatif yang saya miliki bisa bermanfaat dan menginspirasi, sekaligus bisa membalaskan dendam saya!
Sampai detik ini, mimpi saya untuk mendirikan startup berisi berbagai hal terkait edukasi buta warna secara lengkap yang diasuh dan diawasi oleh dokter spesialis mata tanpa dipungut biaya alias gratis...tis masih tetap menyala abangku!
Di dalamnya, seluruh pengakses dari seluruh pelosok Nusantara, bahkan dunia bisa melakukan tes buta warna secara mandiri dari rumah atau dari mana saja, kapan saja selama 24 jam full non stop yang hasilnya bisa detail, termasuk kalau buta warna parsial, parsialnya di warna apa, secara real time dan hasilnya bisa dicetak jarak jauh.
Selain itu juga bisa berkonsultasi dengan dokter mata baik melalui pesan maupun on call.
Yuk siapa berminat membantu saya membalaskan dendam kesumat!? Balasannya Insha Allah surga lho!
Semoga bermanfaat!
***
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
novel Kapak Algojo dan Perawan Vestal |
lomba menulis dari komunitas KP |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar