Anggrek pohon, Simbar Menjangan dan Paku-Pakuan (dokpri) |
Banjarmasin panas!?
“Kok bisa, di Kalimantan panas!?”
“Katanya banyak hutan!?”
“Katanya paru-paru dunia!?”
“Mana yang benar bro!?”
Begitulah kira-kira respon beberapa teman, sabat dan kerabat, terutama yang tinggal di luar Pulau Kalimantan, terkhusus lagi di Pulau Jawa, ketika mengomentari artikel-artikel saya yang dibagian awalnya biasa saya selipkan berbagai feature terkait eksotika alam, adat istiadat serta budaya khas masyarakat Banjar berikut realitas sosial yang menyertainya.
Memang benar, Kalimantan banyak hutan, Kalimantan paru-paru dunia! Begitu juga iklim udara Banjarmasin yang panas! Semua benar! Lho, kok bisa nggak nyambung!
Segarnya rimbun simbar menjangan (dokpri) |
Begini son!
Pulau Kalimantan itu luas bahkan sampai sekarang masih tercatat sebagai pulau terluas ke-3 di dunia. Menurut Greenpeace, sepuluh tahun lalu luas tutupan hutan di Pulau Kalimantan seluas 25,5 juta hektar.
Hutan yang biasa kita kenal sebagai hutan hujan tropis ini punya peran penting dalam menjaga stabilitas iklim dunia, sehingga akhirnya dunia menyebutnya sebagai paru-paru dunia.
Sedangkan kota Banjarmasin, kota tua yang terletak di sudut tenggara Pulau Kalimantan ini, lokasinya tepat berada di delta Sungai Barito, salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Kalimantan dan juga Indonesia. Sebagai kota delta yang sudah pasti berada di dataran rendah, rata-rata suhu udara permukaannya berkisar antara 26-33 derajat plus kelembaban udara yang cukup tinggi.
Uniknya lagi, rata-rata ketinggian daratannya cukup fantastis, yaitu antara 60-80 cm dibawah permukaan air laut. Situasi topografis inilah yang menyebabkan daratan Kota Banjarmasin didominasi oleh kantong-kantong lahan basah berupa rawa-rawa Lebak dan sungai. Berangkat dari fakta inilah lahir julukan Kota 1000 Sungai untuk Kota Banjarmasin.Keberadaan lahan basah yang mendominasi sebagian besar wilayah Kota Banjarmasin ini, memberi kontribusi besar terhadap panas dan tingginya kelembaban udara Kota Banjarmasin.
Susah membedakan daratan dan perairan di Banjarmasin (dokpri) |
Kok bisa!?
Begini logikanya! Berbeda dengan daratan yang cepat menyerap panas dan cepat melepas panas, sifat air sebaliknya, lambat menyerap panas dan lambat pula melepas panas. Ini yang terjadi di Banjarmasin.
Selain itu, minimnya tegakkan vegetasi tanaman hijau karena keterbatasan lahan dan rendahnya kepedulian masyarakat akan pentingnya tanaman hijau sebagai produsen udara segar yang sangat diperlukan makhluk hidup, ditengarai juga berperan memperlambat turunnya suhu panas daratan Kota Banjarmasin.
Termasuk juga luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Banjarmasin yang masih belum bisa memenuhi amanat UU No.26 tahun 2007, khususnya pasal 29 yaitu 30% dari total luas wilayah.
Begini logikanya! Berbeda dengan daratan yang cepat menyerap panas dan cepat melepas panas, sifat air sebaliknya, lambat menyerap panas dan lambat pula melepas panas. Ini yang terjadi di Banjarmasin.
Jadi, stabilnya panas suhu udara di Kota Banjarmasin pada siang hari dipicu oleh dua sumber panas sekaligus, yaitu sinar matahari yang tidak terfilter oleh tutupan pepohonan dan pelepasan panas secara perlahan oleh air yang menggenangi sebagian besar daratan Kota Banjarmasin (logika mudahnya, Kota Banjarmasin seperti berada di atas bejana perebus air yang direbus di tempat terbuka di siang hari bolong! Kebayang kan gimana rasanya... he... he... he...!).Puncak pelepasan panas dari perairan darat ini akan terjadi ketika matahari mulai menghilang atau ketika malam mulai tiba. Jadi jangan dikira bila malam hari datang suhu udara Kota Banjarmasin serta merta akan ikut turun! Yang terjadi Justru sebaliknya, semakin gerah dan pengap.
Selain itu, minimnya tegakkan vegetasi tanaman hijau karena keterbatasan lahan dan rendahnya kepedulian masyarakat akan pentingnya tanaman hijau sebagai produsen udara segar yang sangat diperlukan makhluk hidup, ditengarai juga berperan memperlambat turunnya suhu panas daratan Kota Banjarmasin.
Termasuk juga luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Banjarmasin yang masih belum bisa memenuhi amanat UU No.26 tahun 2007, khususnya pasal 29 yaitu 30% dari total luas wilayah.
Hutan dalam Pohon model curah (dokpri) |
Kesegaran hijau daun dari pepohonan tidak hanya meneduhkan dan menyejukkan mata saja, tapi juga berfungsi sebagai penyerap CO2 sekaligus produsen O2 plus sebagai filter dari tajamnya tusukan sinar matahari langsung di siang hari yang terkadang bisa sampai menusuk tulang! ...he...he... Hiperbol ya...
Itulah realita Pulau Kalimantan kita dan Kota Banjarmasin kita, Kota 1000 Sungai yang memang panas dan lembab, apalagi pas masuk bulan kemarau seperti saat ini, siang panasnya menggigit, sampai menjelang tengah malam biasanya panas dan gerah, tapi setelahnya sampai menjelang matahari terbit ganti dinginnya cuaca yang menggigit.
Hutan dalam Pohon, mix model (dokpri) |
Cara Sederhana Menghijaukan Lingkungan
Bertolak dari fragmentasi "panas" ala Kota 1000 Sungai seperti diatas plus berbagai kendala lingkungannya untuk menghijaukan kota, memancing munculnya ide-ide segar untuk menyegarkan kota dari berbagai kalangan.
Salah satunya adalah cara sederhana yang mulai saya kembangkan secara mandiri di lingkungan Komplek tempat tinggal kami, yaitu kreasi “hutan dalam pohon”. Sekali lagi, “hutan dalam pohon” bukan sebaliknya ya!
Kalau pohon dalam hutan itu sih sudah biasa, memang sudah tempatnya. Tapi kalau “hutan dalam pohon”, ini yang akan menambah kesejukan serta kesegaran mata kita! Penasaran!?
“Hutan dalam pohon” merupakan teknik sederhana menambah luas penampang hijauan daun dengan memanfaatkan tegakan berbagai pohon yang tumbuh di lingkungan sekitar yang bermanfaat untuk menambah kesejukan serta kesegaran mata, menambah potensi produksi O2 yang sehat sekaligus memaksimalkan penyerapan CO2 di lingkungan tempat tinggal perkotaan. Semakin Penasaran!?
Hutan dalam Pohon, Single model (dokpri) |
Di rumah saya yang tanpa halaman, ada pohon ketapang (Terminalia catappa) yang tumbuh sendiri di sela-sela dinding pagar dengan selokan, pohon ketapang inilah obyek trial dari kreasi “hutan dalam pohon” edisi pertama.
Awalnya saya menempelkan atau lebih tepatnya menaruh beberapa batang tanaman anggrek di sela-sela dua batang pohon ketapang , jadi seolah-olah batang anggrek dan akarnya seperti dijepit oleh kedua batang ketapang tadi. Eh... lama-kelamaan, lha kok akar dan batangnya tumbuh semakin banyak, bahkan akhirnya mengeluarkan bunga, putih kecoklatan yang indah. Jujur, saya sama sekali tidak memperlakukan mereka secara istimewa lho!
Saking seneng, bangga dan semangatnya melihat bunga anggrek pertama bisa sampai berbunga, akhirnya saya memindahkan lagi sekitar empat jenis tanaman anggrek lain yang entah apa nama dan jenisnya, sekaligus saya taruh diatasnya. Kali ini, tanaman anggrek saya pindahkan dengan rumahnya alias tempat dia nempel, yaitu batang dalam tanaman pakis yang sudah di gergaji berbentuk kotak-kotak.
Anggrek pertama (dokpri) |
Di tempat asalnya, tanaman anggrek saya seperti hidup segan mati tak mau! Alhamdulillah, ditempat yang baru, saya ikat di sela-sela cabang batang pohon ketapang hidupnya seperti lebih terjamin, terus mengeluarkan cabang baru dan ujung-ujungnya terus berbunga dan berbungaaaaaa! Waduuuuh, kalau sedang berbunga rasanya nggak mau kemana-mana deh...ingin memandangnya terus!
Mulai dari sini, saya melihat ada perubahan dilingkungan tempat tinggal kami. Sejak masing-masing tanaman anggrek di pohon mulai mengeluarkan bunganya baik secara bersamaan maupun bergiliran, banyak tetangga bahkan orang yang lewat sering berhenti di bawah pohon ketapang di depan rumah saya yang kebetulan sangat rindang karena bentuk susunan batang tempat tumbuh daunya yang seperti payung raksasa.
Apalagi sejak diatas tanaman anggrek itu saya tambahkan lagi “koleksi” baru, beberapa bongkahan tanaman “unik dan eksotis” simbar menjangan (Platycerium bifurcatum) dan Kadaka (Asplenium nidus) beberapa lama kemudian.
Ada yang sekedar berteduh sesaat karena kepanasan sambil selfie, ada juga yang memang berhenti ingin melihat bunga anggrek yang kebetulan sedang berbunga dengan warna ungu yang cantik, bahkan ada juga paman penjual pentol dan tukang sol sepatu yang hampir tiap hari "ngetem" disitu beberapa saat sambil menunggu pelanggan.
simbar menjangan (Platycerium bifurcatum) |
Jika kebetulan bertemu saya, diantara mereka ada yang bertanya tentang bunga-bunga anggrek yang tumbuh subur di pohon ketapang tersebut. Sebagian besar pertanyaan mereka adalah nama dan jenis anggrek tersebut plus pengaruh posisi hidup mereka yang menempel di pohon inang (tanaman epifit) terhadap kehidupan pohon inangnya! Hayo apa kira-kira jawabannya ya..?.
Kalau pertanyaan terkait nama dan jenis tanaman anggreknya, jelas saya tidak begitu tahu jawaban detailnya. Kalau untuk pertanyaan kedua, terkait kehidupan tanaman epifit yang menempel pada inang sih Insha Allah tidak menggangu tanaman inangnya. Sebagian besar mereka bertanya, kalau di tempelkan di pohon Mangga apakah pohon mangganya tetap bisa berbuah secara normal? Jawaban saya.. Insha Allah! he... he... he....
Kadaka (Asplenium nidus) |
Alhamdulillah setelah hampir setahun, kedua tanaman ini tidak hanya sekedar semakin membesar dan menghijau, tapi ternyata juga beranak pinak menjadi banyak. Bahkan yang membuat saya heran adalah munculnya tanaman epifit paku-pakuan liar yang ikut tumbuh di dalam rumpun.
Alhamdulillah, sekarang saya mendapatkan banyak manfaat dari kreasi “hutan dalam pohon” di depan rumah.
Selain menambah pasokan O2 yang baik untuk kesehatan warga di lingkungan tempat tinggal saya (meskipun saat ini mungkin belum signifikan), rumpun hijau segar di bagian batang pohon ketapang dan munculnya bunga-bunga warna-warni dari 5 jenis anggrek berbeda yang tertempel disitu ternyata selain bikin adem dan meneduhkan di mata dan fikiran juga menginspirasi banyak tetangga saya untuk membuat kreasi yang sama.
Sejak saat itu, beberapa tetangga bahkan orang yang lewat di depan rumah mulai ada yang meminta batang anggrek untuk ditempel di pohon peneduh di rumah masing-masing dan sejak saya membaca tren positif dari konsep “hutan dalam pohon” yang saya ujicoba, saya juga mulai mempersiapkan pembibitan untuk memperbanyak tanaman, terutama untuk anggrek karena relatif paling mudah dibanding jenis paku-Pakuan yang lain.
Untuk keperluan pembibitan, saya memanfaatkan batang-batang tua anggrek yang sudah berbunga dan tidak produktif lagi yang biasanya ditandai dengan mulai tumbuhnya perakaran di pangkal batang dengan cara dipotong. Batang-batang hasil pemangkasan ini saya taruh di media tanam tertentu, agar bisa muncul tunas. Inilah yang biasa saya berikan kepada tetangga-tetangga. Alhamdulillah bisa bersedekah....
Anakan paku-Pakuan yang ikut tumbuh (dokpri) |
Selain untuk pembibitan, ternyata pemotongan secara berkala pada batang-batang anggrek tua ini juga bermanfaat untuk merangsang tumbuhnya tunas muda yang kelak akan mengeluarkan bunga, sekaligus untuk mengurangi populasi batang tua yang semakin membengkak sehingga mengurangi eksotika “hutan dalam pohon”.
Eh, ada lagi yang semakin membuat hati saya sekarang lebih berbunga-bunga demi melihat “hutan dalam pohon” di depan rumah saya tersebut, yaitu mulai hadirnya burung-burung di pohon ketapang tersebut, jika awalnya hanya singgah dan ngoceh sebentar menjelang fajar subuh, lama kelamaan kawanan burung kutilang itu secara reguler mulai sering bercengkerama dengan sesamanya di dahan-dahan pepohonan di depan rumah dan beberapa milik tetangga.Bahkan beberapa diantaranya sampai ada yang mebuat sarang untuk tempat tinggal di rumpun tanaman simbar menjangan yang terlihat hijau menyegarkan mata.
Suara kicaunya di pagi hari menjadi orkestra alam yang begitu langka di kawasan perkotaan seperti di Banjarmasin. Menariknya lagi, beberapa kali saya melihat kehadiran salah satu binatang langka berbulu coklat keabu-abuan yang saya duga sejenis tupai di pohon tersebut. Wooow!
Semoga bermanfaat
Idenya bner bener seger. Bisa dicontoh bang!
BalasHapus