Jumat, 14 Desember 2018

"Jawa Gambut" Eksistensi Entitas Budaya Jawa di Kalimantan Selatan

Kesenian Jawa (Foto : @kaekaha)

Asal-Usul Entitas Budaya Jawa Gambut

Istilah Jaton akronim Jawa Tondano dan Jamer akronim Jawa Merauke mungkin sudah populer di telinga para pemerhati sosial dan budaya tanah air. Keduanya adalah komunitas (keturunan) suku Jawa yang tinggal dan beranak pinak di seberang lautan tanah nenek moyangnya, Pulau Jawa. Kalau Jaton di daerah Sulawesi Utara dan Gorontalo,sedangkan Jamer di Merauke Papua. 


Tapi untuk istilah Jawa Gambut, mungkin baru sebagian kecil saja yang pernah mendengarnya. Seperti komunitas Jaton dan Jamer, secara spesifik istilah Jawa Gambut merupakan sebutan untuk keturunan suku Jawa yang lahir dan besar di tanah Kalimantan, uniknya sebagian besar diantara mereka belum pernah menginjakkan kaki di tanah moyangnya, Pulau Jawa.

Anak-anak Jawa Gambut (Foto : @kaekaha)


Asal muasal istilah "Jawa Gambut", sampai sekarang memang belum ada rujukan dari segi literasinya. Sejauh ini istilah Jawa Gambut lebih banyak menjadi identitas tutur yang berkembang secara spontan dalam masyarakat Kalimantan Selatan. Kalau merujuk dari istilah kata "Gambut" sendiri, secara umum masyarakat Kalimantan Selatan memahami dua hal, yaitu

Pertama, "Tanah Gambut", yaitu jenis tanah yang terbentuk dari sedimentasi lapukan tumbuh-tumbuhan yang dalam kurun waktu tertentu akan ber-mutasi menjadi tanah. 

Walaupun sudah bermutasi menjadi tanah, tanah gambut ini kalau musim kemarau yang kering dimana kelembapan dan kandungan air berkurang akan mudah terbakar bila tersulut api dan sangat sulit untuk dipadamkan apabila letak sedimen tanah yang terbakar semakin dalam. 

Jenis tanah Gambut inilah yang mendominasi hampir semua daratan dataran rendah di Kalimantan Selatan yang sebagian besar berekologi rawa-rawa lebak.

Kedua,"Kecamatan Gambut", yaitu salah satu kecamatan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Banjar yang beribu kota di Martapura si Kota Intan. Kecamatan Gambut, sejauh ini dikenal sebagai lumbung padi-nya Kalimantan Selatan, khususnya untuk varian padi jenis jenis unus dan Siam penghasil beras Banjar super dan nomor wahid dengan harga yang selangit!

Beras Banjar (Foto : @kaekaha)
Seperti daerah penghasil pertanian umumnya, dahulu daerah Kecamatan Gambut ldentik dengan daerah udik alias “ndeso” sehingga pada era 80-90an penduduk terutama anak mudanya banyak yang “malu” bila harus menyebut alamat tempat tinggalnya sebagai orang gambut. Tapi itu dulu! Roda telah berputar. 

Sekarang, Kecamatan Gambut selain tetap dikenal sebagai lumbung padi-nya Kalimantan Selatan, Kec. Gambut juga menjadi etalase Kalimantan Selatan, karena wilayahnya dibelah oleh Jalan Ahmad Yani yang dikenal sebagai jalan lintas Kalimantan satu-satunya yang bisa menghubungkan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.

Dari dua referensi yang mengandung unsur kata gambut di atas, entah istilah Gambut yang mana yang dijadikan sumber inspirasi terbentuknya istilah Jawa Gambut...!?

Jawa Gambut dan Komodifikasi Budaya Jawa di Tanah Seberang

Sampai saat ini suku Jawa merupakan pendatang terbesar yang bisa eksis berakulturasi dengan budaya suku Banjar di Kalimantan Selatan, sehingga tidak heran, jika kehadirannya ikut membawa perkembangan paras sosial budaya masyarakat di Kalimantan Selatan. 

Generasi awal masyarakat Jawa berikut keturunannya yang tersebar di Kalimantan Selatan, beraktivitas pada sektor informal, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, UMKM dsb. Mereka dikenal luas sebagai pekerja keras dan pantang menyerah! Sementara untuk generasi berikutnya, seiring dengan berjalannya proses akulturasi dan perbaikan sosial ekonomi bisa lebih fleksibel untuk memilih aktifitas/pekerjaan.

Salah satu jenis usaha informal yang banyak digeluti orang Jawa (Foto : @kaekaha)

Masyarakat keturunan suku Jawa di Kalimantan Selatan yang disebut dengan Jawa Gambut ini sekilas tidak berbeda dengan masyarakat Jawa lainnya yang tinggal dan menetap di Kalimantan Selatan. 

Dari generasi pertama sampai yang kesekian, sebagian besar pendatang dari Pulau Jawa tetap mempertahankan ciri budaya dan tradisi nenek moyangnya di Pulau Jawa. Secara umum mereka masih ngugemi budaya Jawa, minimal tetap menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dalam percakapan di lingkungan keluarga, uniknya mereka umumnya juga bisa melafalkan dialek bahasa Banjar sesuai tempat lahir dan tumbuhnya dengan baik dan fasih. 

Bahasa Banjar, sejauh ini dikenal mempunyai beberapa dialek, diantaranya adalah dialek pahuluan di gunakan masyarakat Kalimantan Selatan Bagian utara (Banua Anam) yang meliputi Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Utara (HSU), Tabalong dan Kabupaten paling muda, Balangan. Sedangkan dialek Banjar Pesisir yang sudah banyak dipengaruhi oleh berbagai dialek pendatang di gunakan di Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, dan Kota Banjarmasin.

Adat temu manten (Foto : @kaekaha)

Di ranah seni budaya, khususnya di daerah yang telah lama dikenal menjadi kantong-kantong masyarakat Jawa berikut keturunannya, seperti di Kota Banjarbaru, Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Barito Kuala seni budaya Jawa seperti pertunjukan wayang kulit, seni jaranan, ludruk, campursari, termasuk berbagai kuliner khas masyarakat Jawa relatif masih mudah di jumpai di berbagai tempat. 

Begitu juga berbagai tradisi budaya seperti tradisi temu manten, piton-piton bayi, tradisi methil atau selamatan panen padi semuanya masih ada dan terjaga sampai saat ini, hanya saja prosesi dan uba rampe-nya (perlengkepannya) tidak selengkap layaknya di kampung halaman, tanah Jawa, sebagian memang sudah mengalami komodifikasi alias tidak 100% ontentik lagi dengan aslinya. 

Mungkin, inilah salah satu konsekuensi dari berlangsungnya proses akulturasi budaya dalam masyarakat Jawa di Kalimantan Selatan, dimana didalamnya terjadi komodifikasi terhadap tatanan budaya yang sudah ada karena adanya berbagai kompromi untuk menyesuaikan ruang dan waktu yang ditempati sekarang.

Upaya pelestarian budaya Jawa di tanah Banjar, tidak terlepas dari peran dari berbagai organisasi paguyuban masyarakat (keturunan) Jawa di Kalimantan Selatan. 

Di Kalimantan Selatan, paguyuban-paguyuban yang biasanya dibentuk berdasar asal kabupaten di Pulau Jawa, jumlahnya mencapai puluhan dan mereka hampir semuanya berafiliasi kepada paguyuban masyarakat (keturunan) Jawa paling tua dan terbesar, yaitu Pakuwojo (Paguyuban Keluarga Wong Jowo).

Bagi masyarakat (keturunan) Jawa di Kalimantan Selatan, kehadiran berbagai paguyuban keluarga Jawa bukan bermaksud untuk membentuk eksklusifitas berlatar belakang primordialisme, tapi sebagai wadah komunikasi budaya untuk tetap menjaga proses lestarinya unggah-ungguh budaya Jawa di tanah rantau sebagai upaya untuk tetap menjaga harmoni dan keselarasan kehidupan dalam bermasyarakat sekaligus sebagai representasi komunal masyarakat (keturunan) Jawa dalam berkomunikasi dengan berbagai entitas budaya yang eksis di Kalimantan Selatan, khususnya budaya Banjar sebagai tuan rumah. 

Terbukti, kehadiran berbagai paguyuban ini tidak hanya berhasil menjadi jembatan budaya bagi masyarakat Jawa Gambut untuk tetap mengenali bahkan melestarikan budaya leluhurnya saja, tapi juga berhasil menjadi salah satu elemenpenting dalam menjaga keberlangsungan proses kehidupan sosial masyarakat di Kalimantan Selatan tetap berjalan secara natural dengan mengedepankan prinsip, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung dan mikul dhuwur mendem jero!

Sejarah Panjang Komunikasi Jawa - Banjar

Sejarah komunikasi antara suku Jawa di Pulau Jawa dan suku Banjar di Kalimantan diduga sudah berlangsung sejak jaman eksistensi kerajaan Majapahit, hanya saja catatan literatur lebih banyak mencatat pada era perang Banjar, sejak kedatangan bala bantuan dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah dalam upayanya membantu Kesultanan Banjar melawan penjajah Belanda dan antek-anteknya diakhir abad 19 silam. 

Sejak itulah komunikasi yang diikuti dengan proses migrasi penduduk pulau Jawa ke Pulau Kalimantan dengan berbagai tujuan berlangsung dan ketika Orde Baru berkuasa, melalui program transmigrasi dengan tujuan pemerataan penduduk proses perpindahan penduduk ini diformalkan.

Kamus Bahasa Banjar-Indonesia (Foto : @kaekaha)
Bukti adanya akulturasi budaya antara Suku Jawa dan Suku Banjar, antara lain terlihat dari kesenian wayang kulit purwa banjar diatas. Dari segi nama, proses pagelarannya, tokoh, bentuk karakter dan cerita dari wayang kulit Banjar semuanya mirip, bedanya pada bahasa dalang dan kelengkapan gamelan yang dipakai. 

Selain itu, kosakata Bahasa Jawa dan Bahasa Banjar banyak yang mempunyai kemiripan dan kesamaan dalam hal penulisan, pelafalan dan pemaknaanya. Sebagai contoh kosakata Bahasa Bajar yang sama persis baik tulisan, pelafalan maupun artinya antara lain, lawang (pintu), banyu (air), uyah (garam), gulu (leher), jarang (rebus), tapih (kain/jarik). 

Sedangkan yang mempunyai kesamaan tulisan dan arti tapi beda pengucapan, antara lain kiwa (kiri) Bahasa Jawa baca kiwo , Banjar tetap kiwa ada lagi kanca (teman) Jawa dibaca konco, Banjar tetap kanca dan yang mempunyai kemiripan tulisan dan pelafalan tapi mempunyai kesamaan arti antara lain abang = habang (Banjar) artinya merah, udek=Udak (Banjar) artinya aduk (di udak = diaduk), tape = tapai (Banjar) berarti makanan tape ketan/singkong... dan masih banyak yang lainnya!

Salam budaya dari Banua, Banjarmasin Bungas!


1 komentar:

  1. unik jawa gambutnya.Kalo si jawa gambut itu dikemudian hari pernah ke pulau jawa apa masih disebut sebagai jawa gambut!

    BalasHapus