Happy Sweet Sixteen Kompasiana!
Hari Selasa, 22 Oktober 2024 yang hanya tinggal beberapa hari lagi, Kompasiana kita, rumah digitalnya Kompasianer dari seluruh dunia ini akan merayakan hari lahirnya yang ke-16.
Itu artinya, tanggal keramat itu juga menandai user generated content platform alias platform blog rame-rame terbesar di Indonesia dan dunia ini mulai memasuki fase remaja yang semestinya akan semakin menarik dan menggoda siapa saja. Happy sweet sixteen ya, Kompasiana!
Uniknya, tanggal keramat harlahnya Kompasiana ini, ternyata hanya berjarak 8 hari saja dengan harlah saya sebagai kompasianer, yaitu tanggal 30 Oktober.
Bedanya, kalau edisi 2024 kali ini Kompasiana akan merayakan sweet sixteen alias sudah memasuki fase remaja enam belas tahunan, sedangkan saya sepertinya baru berada pada fase pra remaja deh, sweet eleven!
Sweet Eleven? Sebelas tahun? Sebelas tahun "ngompasiana", ngapain aja?
Iya ya, nggak berasa lho! Tiba-tiba sudah sebelas tahun saja saya bersimbiosis mutualisme dengan Kompasiana. Naaah keceplosan jadinya! Terbongkar deh rahasia awet muda saya, eh maksudnya awetnya hubungan saya dengan Kompasiana.
Sedari awal, saya memang lebih suka menyebut hubungan saya dengan Kompasiana sebagai simbiosis mutualisme.
Sebuah konsep hubungan saling membutuhkan dan saling menguntungkan yang terinspirasi dari dua atau lebih organisme berbeda yang di alam liar ternyata bisa berkolaborasi, bekerjasama saling melengkapi dalam sebuah harmoni demi eksistensi bersama dalam kehidupan.
Konsep hubungan seperti inilah yang sepertinya terus menuntun saya untuk terus berkarya, berliterasi dan bertumbuh bersama Kompasiana hingga saat ini, setelah sebelas tahun berlalu.
Baca Juga Yuk! Saatnya Memunculkan Kategori "Article of The Year" di Ajang Kompasianival
Konsep Simbiosis mutualisme ala saya sih sederhana saja, intinya situasi saling membutuhkan yang kita bangun wajib didasari dengan dua hal, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab, dengan begitu Insha Allah kita tidak akan saling menutup mata dan akan saling menghargai!
Saya yang selalu terobsesi dengan artikel-artikel sosial budaya atau juga folklore bergaya ensiklopedik khas koran Kompas di akhir pekan atau terbitan Sabtu-Minggu yang evergreen, selalu berusaha semaksimal mungkin menghadirkan karya artikel yang otentik dan monumental di akun Kompasiana saya.
Saya selalu berusaha melahirkan karya artikel yang tidak hanya enak untuk dibaca saja, tapi juga seorisinil dan sekomprehensif mungkin agar senantiasa evergreen alias tidak akan basi atau kadaluarsa yang Insha Allah akan selalu memberi pengetahuan dan pengalaman baru pada pembaca.
Harapannya, saya, artikel saya dan Kompasiana kelak bisa sama-sama evergreen juga dan bisa terus sama-sama memberi manfaat kepada banyak kepentingan.
Tapi, maaf masih ada tapinya ya! Mungkin karena di setiap artikel saya biasa memerlukan riset dan ilustrasi foto yang otentik plus semaksimal mungkin harus karya sendiri, mengakibatkan saya tergolong kompasianer yang kurang produktif.
Terbukti, sampai sweet eleven alias sebelas tahun ngompasiana, deposit artikel saya masih saja di angka 700-an, itupun tematiknya mix alias campur dan beragam. Tidak hanya tema sosial budaya dan turunannya, khususnya folklore Urang Banjar yang terlanjur menjadi trademark saya.
Tapi tak apalah, terpenting artikel-artikel itu terus memberi warna yang indah pada ruang-ruang ekletik dalam bilik-bilik estetik di dalam rumah besar bernama Kompasiana.
Mudah-mudahan keragaman warna yang turut disusunnya dalam rumah besar kita menjadikannya berumur panjang, selalu menginspirasi dan terus memberi guna serta manfaat. Amin.
Dinamika "Ngompasiana"
Semua berawal dari passion saya pada tema-tema sosial budaya atau juga folklore yang terus bertumbuh, apalagi setelah bertemu dengan salah satu job kerja saya di perusahaan consumer goods nasional yang mengharuskan saya dan tim berkutat, mempelajari profil sosial budaya dari masyarakat di setiap daerah baru yang dibidik untuk ekspansi market share.
Bisa membayangkan bagaimana antusiasnya saya?
Kebetulan, karena saat itu saya bertugas di Regional Officer Kalimantan yang berpusat di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan dan fokus dari target kita memang menjadi leader di Pulau Kalimantan, maka saat itu saya dan tim secara intensif terus bergelut dengan profil sosial budaya masyarakat Pulau Kalimantan (saat itu) di 4 Provinsi.
Tidak hanya dengan terjun langsung alias jalan-jalan di daerah-daerah target saja, kami juga bergelut dengan data dari berbagai sumber, termasuk artikel-artikel dari berbagai media, salah satunya dari Kompas Grup yang di dalamnya sudah pasti ada Kompasiana.
Dari sinilah, akhirnya saya mengenal "user generated content platform" terbesar di Indonesia dan dunia ini untuk pertama kalinya, hingga kelak, akhirnya merasa pas menjadikannya sebagai pelabuhan dari sebagian besar dokumentasi "perjalanan spiritual" saya di ranah sosial dan budaya.
Dari "berselancar" di Kompasiana, saya mengenal kehidupan sosial budaya otentik masyarakat Banjar, Dayak, Kutai, Melayu dan entitas khas Pulau Kalimantan lainnya yang detailnya relatif sulit didapat di media, bahkan di media induk sekelas Kompas yang di setiap akhir pekan dikenal luas dengan artikel-artikel budaya bergaya ensiklopediknya.
Hingga akhirnya, saya juga mengenal para pewartanya, melalui beberapa fitur komunikasi dan interaksi yang disediakan dalam situs Kompasiana, terutama Kompasianer dari Banjarmasin dan Kalimantan Selatan yang menjadi cikal bakal perkumpulan KOMBATAN alias Kompasianer Banua Kalimantan Selatan yang kelak mewadahi ruang diskusi dan berliterasi teman-teman kompasianer yang berdomisili di seputaran Kalimantan Selatan.
Kelebihan dari artikel sosial budaya di Kompasiana, sebagai citizen jounalism yang ditulis dan diwartakan oleh masyarakat pelaku dan praktisi budaya itu sendiri, jelas selayaknya info A1 yang otentik dan ini pasti sangat bermanfaat, sangat membantu pekerjaan saya dan tim saat itu.
Kompasianer senior dari Banua Banjar yang sekarang relatif sangat sulit untuk ditemukan karya-karya terbarunya, seperti Bang Imi Suryaputera, Bang Andin Alfi, Pak Zulfaisal, Pak Tadjudin Noor Ganie, Pak Syarbani Haira dan budayawan-budayawan Banjar lainnya inilah, mentor sekaligus panutan saya dalam berliterasi sosio kultur Urang Banjar.
Semoga "guru-guru" saya ini senantiasa diberi kesehatan, kesuksesan, kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat, plus tergerak untuk ngompasiana lagi! Amin.
Hanya saja, ketika saya semakin jatuh cinta dengan folklore Kalimantan dan semakin intensif mempelajarinya, seiring proses interaksi saya dengan lingkungan yang juga semakin intensif, saat itulah saya justeru menemukan fakta menarik, yaitu masih banyaknya materi pernak-pernik folklore Kalimantan, termasuk didalamnya domain Urang Banjar yang belum terekam dan terdokumentasi dengan baik, sehingga produk literasinya susah ditemukan saat diperlukan.
Karenanya, sambil terus mempelajarinya lebih intensif lagi di sela-sela pekerjaan utama saya, bahkan salah satunya dengan menikahi gadis Banjar lho! Akhirnya saya memang merasa perlu untuk ikut memanggungkan tema-tema budaya Kalimantan, khususnya folklore Banjar dengan menuliskan artikel bertema folklore Banjar di media level nasional, terutama Kompasiana. Sampai sekarang!
Menariknya, artikel bertema budaya Banjar yang akhirnya menjadi trademark atau ciri khas saya di Kompasiana, ternyata terbukti efektif menjadi "jalan ninja" saya mendapatkan status centang biru, hingga penghargaan tahunan idaman kompasianer, Best in Citizen Journalism 2020.
Itu artinya, karya artikel bertema folklore Banjar karya saya mendapatkan pengakuan serius secara resmi.
Sebelas tahun ngompasiana, saya memang mendapatkan banyak benefit yang sangat bermanfaat! Tidak hanya sekedar materi, tapi juga kebanggaan dan kebahagiaan. Dari blog competition yang saya ikuti, ada beragam hadiah yang pernah saya dapat.
Mulai dari saldo e wallet senilai 10 ribuan sampai uang cash senilai 20 juta, juga barang-barang comel mulai dari kartu mainan, snack, buku, tote bag, kaos, sampai voucher menginap di hotel, hingga smartphone dan sepeda gunung dari merek ternama.
Baca Juga Yuk! Ada Drama di Balik Semua Koleksi Memorabilia dari Kompasiana Ini!
Masih ada lagi! Tentu saya tidak akan pernah bisa melupakan serunya jalan-jalan ke berbagai destinasi eksotis Nusantara hadiah dari ngompasiana, terutama healing ke destinasi-destinasi keren seperti menjelajah Pulau Bali, Keliling Kalimantan Timur sampai ke Kepulauan Derawan dan tentunya saat menengok "si bayi ajaib" berjuluk the hidden paradise, DSP Likupang di Minahasa Utara. Keliling Indonesia tipis-tipis ini uenak tenan son!?
Selain itu, ada sebentuk kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri yang saya rasakan, ketika karya tulisan bertema folklore Banjar yang saya tulis di Kompasiana benar-benar bermanfaat sebagai dokumentasi sekaligus konservasi data, hingga menjadi rujukan bagi siapa saja yang memerlukannya.
Suatu ketika, saat dalam perjalanan menjemput anak-anak pulang sekolah, tidak sengaja saya mendengarkan paparan tentang kain sasirangan khas Banjar dari radio yang terpilih secara acak. Saya mengenali betul, susunan kalimat yang dinarasikan oleh penyiar perempuan bersuara merdu itu dan jantung saya seketika berdegup kencang, ketika dia menyebut nama saya, juga judul artikel yang saya tulis di Kompasiana, sebagai referensi paparannya di akhir acara. Duh rasanya saat itu....
Karena itulah, saya juga bertekad, suatu saat nanti karya tulisan bertema sosial budaya khas Urang Banjar yang saya tulis di Kompasiana bisa dibukukan dan disebar ke semua perpustakaan sekolah dan umum di Kalimantan Selatan dan Indonesia sebagai dokumentasi dan bahan bacaan, yang bermanfaat. Insha Allah.
Baca Juga Yuk! Memorabilia Kompasiana, Candu Eksklusif yang Belum Juga Ada Obatnya?
Gayung bersambut, berkat tulisan-tulisan folklore Banjar di Kompasiana yang selalu mendapat label artikel utama, seringkali saya harus "jalan-jalan" kesana-kemari untuk menghadiri undangan-undangan diskusi, kolaborasi dan lain-lainnya terkait literasi dan budaya dari beberapa elemen penggiatnya di seputaran Kalimantan Selatan, termasuk juga dari beberapa sekolah.
Nah, khusus even yang di sekolah, biasanya pihak panitia selalu memberi titipan agar menyelipkan materi menulis di dalamnya. Alhamdulillah, mudah-mudahan bermanfaat. Amin.
Kecintaan saya pada tematik sosial budaya atau juga folklore nusantara yang sudah mendarah daging, terus menuntun saya untuk menggali keragaman, kearifan dan kebersahajaan folklore nusantara, tidak hanya berhenti pada folklore Urang Banjar dan Kalimantan saja.
Itu juga yang mendasari mimpi saya untuk keliling Indonesia, persis seperti yang saya tuliskan di biofile akun Kompasiana dan media sosial saya, "Ingin sekali keliling Indonesia!".
Beruntung, Kompasiana menyediakan "wahananya", sehingga asa saya untuk mewujudkannya terus membara! Setidaknya untuk pemanasan keliling Indonesia, tinggal klik saja pada pilihan kategori artikel di menu dashboard, seperti halo lokal, humaniora, nature, entrepreneur, lyfe, travel story, bahkan olahraga, video, juga fiksiana dan yang terbaru lestari.
Disitulah artikel-artikel favorit saya yang selalu membabar kecantikan alam serta indahnya keragaman budaya nusantara dari Sabang sampai Merauke berada, terutama artikel-artikel tentang Suku Batak berikut keindahan alam Sumatera Utara karya Prof Felix Tani dan Bang Theo Tarigan, juga kekayaan budaya Minangkabau dan cantiknya alam Sumatera Barat karya Bang Akbar Pitopang, Pak Irwan Rinaldi Sikumbang juga Pak Merza Gamal.
Tidak ketinggalan eksotisnya adat istiadat dan juga alam Sumatera lainnya karya Ibu Hajjah Nursini Rais, Pak Buyung Nurman dan lain-lainnya.
Dari tematik tentang sosial budaya di Pulau Jawa saya paling suka cerita-cerita dari kebun dan sawahnya Mbah Ukik dan Mbak Sri Rohmatiah Djalil, ulasan real life-nya Pak Budi Susilo, Ibu Suprihati sama jalan-jalannya Mbak Isti Yogiswandani, ulasan masakannya Mbak Wahyu Sapta dan madyang-nya Pak de Rachmat Pudiyanto, juga cerita jalanan ala Mas Ikrom Zain.
Sedangkan dari Indonesia timur, saya harus angkat topi dengan bermunculannya kompasianer-kompasianer Nusa Tenggara Timur yang cukup militan mengabarkan keindahan alam dan juga keragaman budayanya, jika dulu saya selalu tertarik dengan balada petani cengkehnya Guido Tisera (Guido Arisso) yang sekarang entah dimana?
Sekarang ada ulasan Bang Gregorius Nafanu dan beberapa kompasianer lainnya yang akan membawa kita menikmati indahnya keragaman nusantara, sekaligus mengabadikannya untuk kelestarian juga literasinya bagi anak cucu kita. (BDJ101324)
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 13 Oktober 2024 jam 22:34 WIB (klik disini untuk membaca) dalam rangka
mengikuti lomba menulis hari jadi Kompasiana ke-16 dan Alhamdulillah menjadi salah satu dari total 5 pemenang dengan reward
keren berupa 2 merchandise resmi Kompasiana dan voucher Gramedia 4 x 25,000! klik disini untuk baca pengumumannya ya...
Kaos, Voucher Belanja Gramedia dan Tote Bag Kompasiana Hadiah Lomba |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar